Akhirnya, Bintang
Akhirnya, kata pertama yang aku tulis buatmu, Tang. Dengan judul yang sebenarnya ragu-ragu aku tulis; Akhirnya, Bintang. Sedikit tidak menarik karena barangkali sudah banyak tulisan tentangmu, apalagi yang menyebut namamu. Entah itu benar-benar menyebut namamu, kamu sebagai Bintang, manusia. Atau lebih banyak sebagai metafora, bintang-bintang di langit yang sebetulnya lebih banyak dilewatkan ketimbang dilihat manusia-manusia hari ini. Wong manusia-manusia hari ini, spesifik teman-teman dekat lebih suka mantengin hp ketimbang beneran liatin bintang. Aku ragu-ragu lagi kalau mereka mengenal bintang-bintang di langit dengan benar karena lebih banyak melewatkannya ketimbang betul-betul mandangin bintang.
Hmm, selain itu ya, keragu-raguanku yang lain terkait roman-roman tulisan masa lalumu itu. Ya metafora-metafora itu, entah bintang entah juga bulan, mereka sebenarnya tidak mencintaimu sebagai Bintang, manusia, tapi takjub dengan pesona namamu, atau membayangkan sesuatu yang indah-indah tentang bintang dan bulan yang tidak terlalu mereka kenal. Itu mengapa saat kamu tanya padaku mengapa aku menyukaimu, menyayangimu atau mau pakai kata ‘mencintaimu’, ‘ya karena kamu Bintang, manusia, yang spesifik aku kenal di hari ini, ada untukku, menyenangkan, membahagiakan, lagi-lagi di hari ini.”
Pernah baca cerita pendek yang sudah kukirimkan padamu? Aku yakin belum dan pdf itu keburu lenyap. Hehe, tapi tidak apa-apa. Salah satu penulis kesukaanku dari Prancis, Guy de Maupassant nulis cerita pendek berjudul ‘Cahaya Bulan’. Tulisan di cerpen itu tidak terlalu positif dan bahkan tidak bersahabat dengan tulisan-tulisan indah tentang bulan. Justru akhiran dari cerpen itu bunyinya seperti ini:
“Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, “Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu.” Cahaya Bulan — Guy de Maupassant
Seorang Madame yang memimpikan kisah cinta ideal, dapat dicium dan dipeluk dengan romantis di bawah cahaya bulan oleh suaminya. Tetapi ia tidak bisa menemukan kisah semacam itu dengan suaminya yang amat kaku dan tentu saja tidak romantis! Tapi Madame itu bertemu dengan seseorang di pinggir sungai, laki-laki yang sekejap mewarnai malam harinya yang bertabur cahaya bulan. Tapi di hari berikutnya laki-laki itu tak kembali lagi, hilang. Dan sejak saat itu ia sadar bahwa yang ia cintai bukan laki-laki itu, tapi cara dia sendiri dalam mencintai dan kekasihnya yang sungguhan malam itu sadalah cahaya bulan. Haha!
Tulisan dengan awalan kritik tentang masa lalu memang menyenangkan yak! Sesuatu yang diawali dengan kritik memang asyik! Haha, asu gak? Asu sih, cemburu kadang-kadang mengendap begitu sentimentil di tulisan-tulisan. Haha. Dan ini surat cinta dengan draft dadakan, seadanya, bahkan memuat pisuhan. Selamat mengenalku, Tang, yang jelek, yang suka menulis, yang menyayangimu seadanya begini, tidak terlalu asyik, omongannya kadang tidak nyambung, miskin, yang sering minim bicara, tapi sesungguhnya aku banyak ngoceh di tulisan-tulisan. Menulis, aktivitas paling aku sukai bahkan sejak awal aku bisa menulis pertama kali dengan instrumen menulis berupa tembok rumah lho. Aku sudah vandal sejak kecil.
Kabur
Oh iya, Tang, aku menulis surat ini tentu saja asal. Sudah kurencanakan jauh-jauh hari. Tapi tidak berhasil bahkan untuk membuat sekecil draft sekali pun. Sampai jam menunjukkan pukul 8 malam. Beberapa jam sebelum ulang tahunmu di tanggal 3 Desember, hujan deras, dan tengah malam tinggal sebentar lagi, 4 jam dari sekarang. Cara menulis di tulisan ini pun memang tidak dipenuhi dengan kegigihan, sekadar niat. Tapi tulisan ini harus segera selesai, karena ini tulisan pertama dengan awalan ‘akhirnya’ dan menyebut namamu pula. Ditulis dengan iringan lagu-lagu di salah satu playlist Spotify-mu “to the space and never go back”. Tulisan yang cocok untuk sub bagian tulisan ini.
Tentang aku yang kabur dari rumah setelah ditolak beasiswa Australia. Anak miskin yang hobi mengejar pendidikan sampai tinggi sekali karena menemukan kebahagiaan saat belajar, berdebat, belajar konsep dan praksis. Mencoba kabur dari rumah dan membelot. Tapi tetap gemar bersedih karena meninggalkan teman-teman warung kopi, belum lama patah hati, dan harus memenuhi keinginan orang tua untuk apa? Ya, bekerja. Karena sosok, orang, manusia tidak akan pernah bisa menjadi tempatku kabur dan lari dari hiruk-pikuk masalah dan kesedihan. Maka, hanya tempat jauh dari rumah yang bisa.
Lalu aku menemukan Indramayu. Kabupaten yang hanya menjadi angan-anganku di masa yang sudah-sudah amat lalu. Tapi pernah masuk daftar tempat yang ingin dikunjungi saat marah. Amit-amit, dahulu aku pernah berdoa untuk bekerja di tempat yang aku maksud hari ini. Tanpa punya prinsip, bekal perspektif, dan semacamnya saat itu.
Tapi di hari ini, aku datang dengan Asri yang betul-betul berbeda. Asri yang sudah belajar dan mengalami banyak hal yang membentuk ‘perspektif dan prinsip hidup’, tapi tetap juga kecewa karena harus mengorbankan prinsip tidak akan pernah ikut proyekan atau bekerja kotor seperti ini. Bertahan bertahun-tahun dengan prinsip semacam itu, berkata dan berlaku tidak pada proyek-proyek menjijikan ini. Tapi harus luluh lantak sebab tuntutan orang tua dan harus berada di sini. Ditambah kecewa sekaligus marah diperlakukan tidak pantas di tempat yang menurutku bebas dari perlakuan ‘semacam’ itu. Berpisah dengan teman-teman yang cukup egaliter, menuju hamparan hierarki paling menjijikan, dominasi yang kentara. Sepi. Tempat paling senyap sepanjang hidup sebetulnya di sini. Aku membenci diriku sendiri dan kata pertama yang terlontar dari kawanku saat sampai di sini adalah ‘kualat’. Hahaha.
Bertemu Denganmu
Hingga ‘akhirnya’ lagi, aku bertemu denganmu. Melihatmu beberapa kali, entah di gor, di warung kopi Cimanuk, bukan tidak tertarik, bahkan untuk sekadar mengenal gerombolan kalian saja aku belum bisa. Cara adaptasiku di tempat semacam ini cukup payah. Karena di tempat bekerjaku ini, semuanya benar-benar di luar bayangan dan prinsipku. Aku menentangnya, kemudian aku di sini? Aku ini, sampah. Kesepian pula. Meski punya teman-teman kerja yang ramai, jujur aja mereka seperti, ehm sepertinya bukan temanku.
Lalu aku bertemu denganmu di workshop dengan rokok akhir bulanmu, rokok juara. Rokok yang sebenarnya belum pernah aku coba sebelumnya, hanya aku tahu karena sering dibeli TanCip, penulis buku ‘Renjana’. Salah satu buku yang aku bawa ke Indramayu. Membuatku bersedih di hari pertama di sini. Salah satu buku yang memuat cerpen kesukaanku juga berjudul ‘Renjana’. Cerpen pilihan Kompas. Kalimat awal di cerpen itu begini “Aku berangkat ke kotamu dengan kereta paling awal.” Cerpen yang isinya tentang keputusasaan. Baca saja. Dan sekarang buku kumpulan cerpen TanCip itu sudah aku bawa pulang. Sejak kamu mengantarku ke stasiun. Saat pertama kali aku pulang ke Jogja. Mungkin aku mengira akan ada ‘kehidupan baru’, seperti halnya cerpen terakhir di buku kumpulan cerpen itu.
Beruntungnya saat di workshop aku sudah bertanya “Mas, kamu di Jogja emang ngapain?”
Pesimis
Benar saja, setelah itu aku punya hidup dan semacam dunia baru, meskipun duniaku tidak akan melulu tentangmu. Kamu saja tidak pernah suka sebagai ‘pusat semesta kan’. Aku tetap paling suka dunia belajarku. Bagiku hidup adalah untuk belajar. Kamu barangkali hadir untuk mewarnai ruang belajarku. Jadi lampu belajar. Aku betul-betul kangen lampu belajar, aku punya dua di rumah! Hehe. Meskipun tetap saja sampai sejauh ini aku selalu menjadi manusia pesimis. Tidak seperti orang-orang yang sudah lalu. Beberapa di antaranya merasa kamu rindukan. Ada pula yang merasa masih kamu urusi, pikirkan, dan tak mampu kamu lupakan.
Berbeda denganku, yang jelek ini. Aku hadir dalam hidupmu dan kau melihatku dengan dandanan bajuku yang paling cupu. Aku mengganti celana jeans rombengku, celana kulot, kaos dan kemeja flanelku dengan celana kain plus kemeja, atau baju setelan kerja di sini. Masih dengan rokok surya yang hanya bisa kuhabiskan di tempat nongkrong di Jogja. Di sini mungkin bisa berhari-hari baru habis! Dan dari situ, mana mungkin kamu bisa menyukaiku, mencintaiku, yang jelek ini?
Tang, kadang-kadang aku memang minder. Merasa tidak aman (insecure). Tapi kadang aku juga tidak seperti itu. Aku masih jadi idola mas-mas Jember, gus ganteng, dan masih banyak lagi. Aku cemerlang di tempat yang berbeda. Karena kata Moore “nobody lives everywhere, everybody lives somewhere.” Apa yang kamu tidak ketahui dariku adalah bahwa dunia kerjaku saat ini bukanlah aku. Aku tidak bisa benar-benar hidup di tempat semacam ini. Meski sudah kukatakan, kehadiranmu memang top begete.
Aku pamer pada banyak temanku, akhirnya aku bertemu teman (benar-benar teman) saat setelah aku pulang dari sebat rokok juara. Aku tanya banyak temanku apakah mereka mengenalmu? Sampai kita dekat dan daripada bersedih aku lebih banyak senang nan bahagia setelahnya hehe.
Meski, meski, meski aku sering takut karena tidak cantik, lola, tidak perhatian, tidak banyak bicara, dan bukan mba-mba e-girl, ketimbang optimis kamu akan memikirkanku setiap saat, aku lebih rajin merasa pesimis seperti itu. Itu membuatku lebih baik, terkadang, meski sebenarnya aku sangat takut gagal dan kehilangan.
Selamat, kamu tidak akan tua
Dan, apa yang bisa diandalkan dari mba-mba cilik sepertiku? Aku cuma mba-mba pendek tidak cantik yang pengin jadi bocah selamanya. Bertemu denganmu yang menolak tua. Dan sekarang banget, setelah aku paham kamu menolak tua masih saja aku menulis surat untuk ulang tahunmu ke-24 dan kamu tenang-tenang saja tidak resisten. Tapi selamat ya, Bintang, laki-laki kesayanganku. Umurmu sekarang 16, aku 17, menurutku. Terserah padamu kamu memberi nomor berapa pada umurmu. Tapi aku tetap ingin jadi bocah, dan kamu juga tidak akan menua.
Aku suka konsep dan laku ini dari sebuah buku. Buku tipis dari Prancis berjudul Pangeran Kecil. Salah satu konsep yang aku suka ketika menjadi bocah adalah dia tidak akan bertanya tentang kuantitas dan hal-hal biasa tentang orang dewasa. Menjadi bocah akan bertanya banyak hal yang lebih dari sekadar pertanyaan orang dewasa, yang sekadar berkutat misal pada pertanyaan umur, sudah menikah belum, berapa nilai matematikamu, juara berapa di kelas? Entah, kuantifikasi yang bercokol di otak orang dewasa. Menjadi bocah mungkin aku bisa bertanya di luar batasan-batasan semacam itu seperti “apa warna favoritmu? Permainan kesukaanmu? Tanaman kesukaan? Kapan pertama kali menangis? Bekal di sekolah yang disukai?” dan masih banyak lagi. Dan menjadi bocah yang bebas dan punya keputusan serta dunia sendiri. Dan yang paling penting juga, yang sejauh ini aku sudah kehilangannya sejak lama karena terlalu lelah dengan kehidupan ini sebenarnya adalah; keceriaan.
Mencintaimu di Hari Ini dan Merasa Cukup
Sebentar lagi tengah malam, masih hujan, dan keburu berganti hari. Kamu tak membalas pesanku dan mungkin tidur? Entah. Namun aku masih berusaha untuk merampungkan tulisan ini. Aku tahu tulisan ini tidak nyambung satu sama lain dari bagian ke bagiannya. Aku sudah katakan tulisan ini bahkan tanpa draft. Aku hanya mengungkapkan apa yang ada di isi kepala. Memasukkannya dalam tulisan agar sedikit rapi dan dapat diingat, walaupun tidak akan banyak membantu. Dan yang mengendap di kepalaku beberapa hari ini adalah satu pertanyaan dan satu pernyataan.
Inti dari apa yang aku ingin katakan sekarang, di hari ini, di tanggal ini adalah aku merasa bahagia dan merasa cukup dengan kehadiranmu, Tang. Gamau yang lain, ehe. Aku sangat senang kamu ada dalam hidupku. Saat mungkin ditanya kemudian mengapa aku mencintaimu dan lalu merasa bahagia?
Karena kamu Bintang, bukan orang lain, dan kamu ada untukku di hari ini. Cinta, kalau kata seseorang adalah post-material tapi menjalaninya amat material. Mengapa post-material?
Karena setiap bertanya pada masing-masing dari kita selalu dijawab ‘gak tahu’. Pertanyaan yang sama, yang diulang setiap kali habis melintas di bunderan mangga. Aku juga tidak pernah tahu mengapa aku mencintaimu. Dan jawaban soal ‘karena kamu ada di hidupku hari ini’ amat-amat material.
Dariku saja, sudah kuakui bahwa aku cumak seonggok Asri. Tidak cantik, berlumur kesedihan, dan kisah-kisah rumit di belakangnya. Bertemu denganmu yang ganteng dan lucu, dan juga berlumur kesedihan, dosa, banyak soal masa lalu, canda sayang. Yang ingin kukatakan lagi-lagi adalah meski aku mungkin memiliki kemiripan sikap dan sifat dari orang-orang sebelumnya di masa lalu, aku tetap Asri, orang yang berbeda. Begitu pula kamu, Tang. Ada beberapa teman terdekatku mirip denganmu, tapi kamu tetaplah Bintang. Aku orang yang berbeda dari orang lain, sekalipun orang lain itu juga beberapa terikat dan memengaruhi hidupku, di hari ini, di masa lalu!
Hidup di Hari Ini
Karena Bintang yang aku kenal punya dua wajah. Wajah Bintang yang aku suka masih sangat kuingat di hari ini. Bintang yang bercerita panjang lebar kala itu tentang kisah teman-teman, keluarga, dan beberapa kisah yang pernah ia alami diceritakannya di warmindo. Tengah malam, sehabis makan bubur, dan menghabiskan banyak rokok. Aku tidak ingin optimis seperti “kenapa ini orang baru kenal udah cerita banyak”. Walaupun hari itu merupakan kali kedua aku meyakinkan diri dan heran “kenapa sih aku mudah sayang sama orang”. Tanpa sadar, sudah sejak lama aku tidak bisa menyayangi seseorang selepas ini. Mungkin saat itu, kali pertama aku yakin dan mencintaimu.
Aku juga tidak tahu. Tapi aku suka menunggumu. Mirip seperti pertama kali aku marah-marah di twitter karena menunggumu dua jam di pinggir jalan untuk berangkat bersama. Aku tidak tahu, aku ternyata sesuka itu. Suka mandangin kucing eek sambil nunggu kamu yang ga dateng-dateng. Hehe.
Kau tahu juga gak, Tang, saat pertama kali kita bareng ke Jatibarang? Aku khawatir saat duduk kursi berpisah. Khawatir kamu merasa tidak enak. Aku banyak cek pandangan, tapi tidak sering mendapatkannya karena kamu duduk membelakangiku. Kenapa aku harus khawatir? Aku takut besok-besok kita tidak akan pergi bersama lagi. Meski setelahnya aku merasa diselamatkan nasi goreng gaenak yang aku tidak menghabiskannya dan kau cerita soal pengalaman kelammu itu. “Mengapa kamu harus bercerita denganku? Siapa aku?” saat itu aku masih biasa saja, karena kisah semacam itu juga bisa diceritakan ke siapa saja juga. Aku orangnya memang pesimis dan amat praktis.
Sampai akhirnya, kita pergi ke Sukra. Bagiku itu boncengan biasa, jauh-jauhan, sedikit bicara bagai boncengin pohon pisang! Berangkat dengan was-was takut Bayu cemburu dan barangkali diam-diam suka sama aku. Hahahah. Tapi aku santai banget, lebih suka bonceng kamu, dan merasa nyaman. Guyonan yang paling aku ingat saat berangkat adalah empang bau kuburan hahaha. Dan sampai di kedai kopi aku merasa khawatir lagi. Akhirnya aku minta rokok juaramu. Kamu cumak ketawa. Dan aku merasa nyaman, terlebih kamu memintaku untuk apa ya waktu itu, aku lupa, tapi aku merasa terkesan dan seperti mengenal sudah sangat lamaaa. Akhir Agustus kita kenal, sampai saat ini pun baru terhitung tiga bulan! Tapi entah. Dan saat kamu memintaku untuk nyender di pagar untuk rebahan, aku suka, aku suka! Aku merasa sangat senang!
Dan lalu kita pulang. Melewati Pantura dan diceritakan mbak-mbak pinggir jalan sambil lihat lampu pantura berjajar adalah adegan favoritku. Adegaaan. Aku sangat suka dibonceng malam-malam lewat Pantura. Boleh gak alasan kenapa aku mencintaimu karena aku suka dibonceng lewat Pantura malam-malam?
Pertama, waktu pulang dari Sukra. Kedua, saat kamu antar aku ke Cirebon dan berangkatnya kamu marah dan ngatain gabisa baca maps ta? Rasanya aku pengin pulang sebelum berangkat, tapi liat kamu jalan ganteng banget aku gajadi pulang. Berangkat ke Cirebon. Makan ayam tulang lunak dan pulangnya kena lampu merah di bangjo yang katanya baru pertama kali kamu kena lampu merah. Kamu bilang apa karena sama aku ya jadi kena lampu merah? Gatau sih, yang. Tapi waktu itu aku jadi sangat sentimentil, langsung teringat film Wong Kar Wai — Days of Being Wild.
Dan ngejalanin sama kamu sampai sekarang seperti Days of Being Wild. Tapi aku sukaaa. Sukaa banget.
Yang, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku mencintaimu. Aku gakbisa ngucapin selamat yang mengejutkan. Kamu hidup dan yang paling penting ada di hidupku aku sudah senang sekali. Kamu lucu, aku suka. Kamu juga ganteng. Hiduplah ceria denganku meskipun hidup ini brengsek. Jadilah lampu belajarku kalau kamu tidak ingin jadi pusat semesta dalam hidup seseorang kayak aku. Terimakasih ya sudah hidup. Terimakasih untuk orangtuamu yang sudah melahirkanmu juga. Kapan-kapan lagi aku nulis buatmu, lagi.
Yang Mencintaimu,
Asri
2 Desember ke 3 Desember 2021