Bintangku Sayang dan Hal-hal Baik yang Akan Kurawat Selamanya

Memulihkan
7 min readMar 26, 2022

--

Kabin Kopi Tandjak, Lempong Balong, 6 Maret 2022, 01.12 WIB

Untuk Bintangku,

Ditulis dari kamar kost kita yang jendelanya berada tepat di tepi rumah berpohon mangga, dijeda jalan kecil, dan kini air kran-nya tumben mengalir deras.

Bintang, tulisan ini mengalir seperti air kamar kost kita, kadang deras, kadang kecil, dan kadang-kadang mati juga. Meskipun setelah mati pasti akan hidup lagi. Karena ada jadwal kapan air mengalir, kapan tidak mengalir.

Tulisan ini ditulis begitu mengalir, di samping jendela kamar. Di depanku berjejer sayuran dan bahan-bahan dapur lainnya. Di belakangku kasur tempat kita terlelap berdua. Bersitirahat, mengobrol, saling marah, saling menunggu sepulang kerja, menonton film selesai ataupun tidak, serta jadi tempat menaruh pakaian kering dari jemuran sebelum dilipat. Samping kiriku tempat barang-barang untuk merawat tubuh dan rambut kita; clay, minyak rambut, bedak, serum, masker, dan lain-lainnya. Samping kananku jauh, dekat dengan pintu banyak kaleng gas untuk memasak dan tertata sepatu, termasuk sepatu vans kita. Dan berada di samping kamar mandi, di tembok bagian luar kamar mandi, menghadap kasur tidur kita ada sebuah lemari baju. Beberapa hari lalu kamu meminta tempat paling atas di dalam lemari untuk menaruh baju-baju bersihmu, aku membereskan itu semua. Di samping lemari itu, ada magic com yang dibeli dengan uang kita berdua, di atas meja, yang juga berserakan barang-barang kita.

Tulisan ini ditulis juga di siang menuju sore, di Indramayu yang panas. Di pinggir jendela dengan pemandangan pohon mangga samping kost, pohon mangga tua, yang sudah bertahun-tahun lamanya. Aku menulis ini seperti biasa, seperti halnya tahu bulat, digoreng dadakan. Tahu yang mengingatkanku dengan beberapa jenis jajanan yang pernah kita beli berdua saat kita tinggal bersama. Tahu yang mengingatkanku pada liburan kita ke Kuningan di awal Maret yang penuh dengan drama karena aku menagih uang ganti jalan-jalan yang menyenangkan itu. Aku akui aku payah untuk itu. Tapi aku akui juga bahwa itu adalah salah satu liburan terbaikku sepanjang masa.

Aku ingat perjalanan kita yang jauh. Kedinginan di jalan karena hujan. Berteduh di alfamart begitu lama, melanjutkan perjalanan, dan berhenti di pinggir jalan dekat dengan ibu-ibu penjual bebek goreng. Jongkok, melolong menatap hujan di bawah lampu depan kios percetakan. Lalu sampai ke Tendjo Laut, sekujur badanmu tremor, kedinginan. Kita memesan dua kopi tubruk dan teh panas, mengobrol. Kemudian kita menuju Kopi Tandjak, melihat pemandangan lampu-lampu malam kota dari atas dan merasakan, menurutku ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk dan manusia. Memang saat itu sepi, tapi untuk pertama kalinya sepi tidak menyiksaku sama sekali. “Tenang ada aku”, dan perjalanan yang juga tak kalah paling kuingat saat aku ingin lari dari kenyataan pekerjaan, lelahnya bertemu dengan orang-orang, akhirnya kamu menggandengku sampai ke atas saat tracking. Saat tiba-tiba nasib burukku, kebiasaanku, menimpaku. Menangis.

Iya, menangis, hanya karena aku merasa tidak perlu bertemu siapapun orang. Saat aku merasa hanya kamu yang aku perlukan pada liburan itu. Tapi anjing ramah yang dinami Kiyon itu menemani perjalanan kita berdua pada liburan itu. Anjing pertama yang berani aku pegang, anjing pertama yang liurnya menempel di kulitku. Anjing, binatang yang aku takuti sejak kecil, tidak familiar denganku, dan banyak stigma buruk yang melekat pada jenis hewan itu. Tapi berkatmu, aku bisa gemas dengan kucing yang aku takuti. Dengan anjing yang jauh lebih aku takuti. Dalam banyak hal aku ini memang payah sekali. Dan bersamamu aku mengakui dan melihat banyak kepayahanku, meski denganmu juga aku jadi banyak sekali belajar tentang banyak sekali hal. Makasih ya, Bintang.

Bintang, tidak ada kata ‘tidak mencintaimu’. Bahkan meski hari kita berjalan dengan biasa, berulang setiap hari pun, aku tetap mencintaimu. Mungkin cinta itu berada di hati yang sangat dalam. Dan aku tetap menjalani sehari-hari dengan biasa, bahkan mungkin dengan tidak memunculkan kata ‘aku cinta padamu’ tapi sebenarnya aku sangat mencintai dan menyayangimu. Aku tidak ingin kamu pergi atau meninggalkanku.

Semalam kau bertanya padaku sebelum tidur. Setelah kita ngopi berdua. Ngopi yang selalu menyenangkan meski kamu masih merasa kasian. Padahal jangan pernah kasian. Jika kita ditakdirkan akan menjalani kehidupan selalu berdua suatu saat nanti, aku akan jadi tema untuk bertemu teman-temanmu, kalau kamu ingin. Dan tak jadi masalah seperti semalam, seperti juga banyak hari-hari yang lalu. Kadang aku memang pendiam, tapi kadang aku juga tak kalah nyambung, lho. Aku hanya sering tak mengerti bahasa kalian, atau kadang kamu mendominasi obrolan saja sampai aku tak ada kesempatan bicara. Selebihnya, dalam hatiku terdalam aku sangat suka pergi, bahkan menemanimu. Mengenal duniamu. Walaupun sering kamu asik sendiri, tapi kelak aku juga punya dunia di mana aku akan juga merasa asik sendiri. Karena itulah hidup.

Kembali, semalam adalah salah satu perjalanan yang akan hinggap di memoriku. Terutama naik revo tempur yang sebenarnya membuat badan pegal ketika harus memelukmu di perjalanan menuju tempat-tempat yang kita tuju. Tapi semalam di langit bintang-bintang bertebaran, cakep sekali. Kamu mungkin tidak menatapnya, takut gronjalan dan lubang jalan menuju Jatibarang. Tapi apa yang aku ingat malam tadi ketika menatap bintang-bintang itu adalah aku tidak mengingat namamu sama dengan nama-nama cahaya di langit itu. Yang aku tahu namamu adalah “sayang” dan bintang-bintang di langit itu bernama bintang. Jika banyak orang yang telah lalu, seperti yang dulu pernah aku tulis untukmu di hari ulang tahunmu menyamakanmu dengan bintang-bintang di langit. Bintang yang bertebaran di langit itu tetap saja hanya bintang, indah, tapi bukan kamu. Kamu adalah yang aku sayangi, meski nama kamu sama yaitu “Bintang”, tapi dalam hatiku kamu tetap bernama “sayang”, bahkan “sayangku”.

Semalam seperti hari-hari awal kita jalan keluar berdua, di bulan-bulan September-Oktober 2021 lalu itu. Naik revo atau win. Aku merasakan hal yang sama, aku masih mencintaimu, merasa tenang, dan menyayangimu. Aku berpikir kamu mungkin akan mengenang perjalanan semalam, dari kost menuju kedai kopi, mungkin. Karena rasanya tenang, teduh, dan syahdu. Langitnya sedang cerah. Dan, meski kataku kamu akan mengenangnya, tapi kalaupun tidak, sebenarnya aku yang akan lebih mengenang perjalanan yang menyenangkan itu. Hingga kita sampai di kedai kopi, berniat membeli cimol di tengah jalan namun habis. Tapi tak apa, ajaibnya, sampai di sana pikiranku seperti sudah dibaca. Aku memang sedang ingin es kopi susu. Aku menemanimu mengobrol, sesekali ikut mengobrol, dan sangat beruntung bertemu Meng penurut yang ternyata garang.

Hari-hari denganmu sangat-sangat menyenangkan. Kamu merawatku dan perlahan mengembalikan kecerianku yang sudah lama hilang. Menghilangkan hawa-hawa negatif — kek dukun. Dan perlahan menggeser sesuatu yang sebenarnya antara buruk dan tidak buruk. Iya, hidup bertopang pada diri sendiri. Kadang itu sangat baik, tapi kadang membuat orang lain tidak berarti apa-apa. Kini, aku merasa bahwa sudah saatnya membutuhkan orang lain. Meski sekecil soal afeksi aku harus menerima itu. Aku tidak selamanya bisa hidup dengan bertopang pada diriku sendiri. Merasa paling kuat di dunia. Tapi ketika dihadapkan dengan bahumu ternyata aku salah satu manusia paling sering menangis dan lemah, paling sering bersandar dan menempel di lenganmu.

Sudah lama sekali aku seperti tak pernah menaruh empati, simpati, dan semacamnya pada suatu hal yang harusnya aku rasakan bukan saja hanya aku pikirkan. Mungkin karena banyak manusia lalu lalang lewat dan menempa hidupku menjadi aku yang sangat keras. Bahkan kadang keras kepala. Tapi bertemu denganmu aku merasa ada yang berubah. Aku kembali menjadi penyayang, mengurangi berkata keras dan pedas. Ada dunia yang harus aku lawan, ada juga tidak.

Dan kembali, semalam kau menanyaiku “apakah aku yakin?” “apakah aku sudah yakin ingin menikah denganmu?”, mungkin suatu saat nanti. Hal yang pernah aku katakan tapi hanya sekilas dan ingin aku katakan lagi adalah jika suatu saat kamu mungkin pergi, mati, selingkuh, ghosting, memutuskanku sepihak, illfeel, dan semacamnya, yang membuatmu meninggalkanku, sudah kukatakan “tidak ada lagi tempat untuk orang lain dalam hidupku”. Aku sudah hidup dengan pilihan-pilihan orang lain, misalkan pilihan orang tuaku untuk bekerja keras, atau aku harus mengikuti konstruksi sosial agar orang tuaku lagi, tidak merasa malu dengan tetangga. Tapi untuk cinta, orang yang aku cintai, aku berhak memilih sendiri.

Kelak jika kau justru yang tak bisa hadir dalam hidupku karena lagi-lagi karena orangtuaku, akan kukatakan juga hal yang sama bahwa “tidak ada lagi tempat untuk orang lain, selain Bintang”. Konyol, gegabah, sok berani. Tapi hidup berdua selamanya denganmu, atau/versus hidup sendiri selamanya, keduanya adalah pilihanku. Tidak selamanya hidupku bisa diatur oleh kapitalis x negara, dominasi orang tua dan keluarga, ataupun konstruk masyarakat yang amat payah sebab negara x kapitalis juga itulah penyebabnya!

Jika akhirnya aku benar-benar sendirian nanti karena kamu meninggalkanku sendirian. Karena kamu merasa aku pantas ditinggalkan, atau kamu merasa kamu lebih payah daripada aku jadi kita tak bisa bersama lagi. Aku akan terus mengejar impianku, berjalan-jalan jauh, mungkin di kota lain, mungkin di pulau lain, atau di bahkan di negara lain sambil sekolah. Meneguk jenis-jenis bir dan miras, berjalan-jalan di tempat yang asing dan tak pernah aku datangi. Merokok di pinggir pantai, sungai atau di puncak gunung dan pegunungan, mengobrol dengan orang-orang yang kutemui perihal pertanyaan yang membuatku selalu dekat, khususnya dengan pengalaman perempuan lain yaitu soal ‘cinta’ dan bicara dengan banyak laki-laki, anak kecil, perempuan, ibu-ibu, dan bapak-bapak tentang kehidupan ini. Aku juga akan menikmati bacaan-bacaan buku, menyeduh jenis-jenis teh terutama yang mampu membuatku lelap dengan damai. Dan itu akan aku lakukan, benar; sendirian. Hidup denganmu atau aku hidup sendirian. Sisanya seperti kutipan film Chungking Express yang belum selesai kita tonton itu adalah bahwa akan aku habiskan “sisanya adalah dengan orang-orang yang tidak temui namun tidak kita kenal, yang kelak mungkin juga menjadi masa lalumu”.

Tulisan ini mungkin akan bersambung, apalagi hari dan bulan berasa berjalan cepat. Setelah dua bulan dari sekarang apakah kita masih bisa tinggal bersama lagi?

Kost Gang 21, 26/3/2022

3:53

Asri Kecil

--

--

Memulihkan
Memulihkan

Written by Memulihkan

0 Followers

Kisah sehari-sehariku. Mengenang hari-hari baik dan buruk sepanjang hidup.

No responses yet