Cinta, Alam, dan Penaklukan pada Perempuan
Bagi seseorang yang diam-diam aku diamkan, dan setiap pertanyaannya kujawab seadanya. Kadang-kadang ekspresi yang sungguhan justru yang sukar diekspresikan.
Temaram. Kisah-kisah ini adalah kisah yang mirip di dalam buku-buku yang mungkin kau pernah baca. Atau suatu cerita yang juga sempat kau alami dan rasakan. Tentu saja, ini hanya ungkapan akan perasaan yang ingin diluapkan berhari-hari lalu bahkan berbulan-bulan lamanya oleh seorang perempuan. Di mana padanya terselip satu prinsip, ‘bagaimana jika aku tak dapat ditaklukan?’
Kaila namanya, yang berbohong kala ia masih kecil karena menggunakan cream milik bibi, saudara dari ayahnya. Ia mengelak bahwa cream itu diberi oleh orang lain padahal ia mengambilnya di lemari bibinya itu. Ia takut, bilamana ia kemudian disalahkan. Namun sang bibi hanya diam saja, membiarkan. Padahal hati Kaila tersayat. Anak kecil yang tak semestinya hidup dalam kebohongan. Tak sewajarnya anak dapat mengutarakan apa yang bukan semestinya. Begitulah untuk pertama kalinya Kaila tunduk pada keinginannya sendiri. Mengolesi tangannya dengan cream yang ia bayangkan dapat membuat kedua tangannya halus nan rupawan. Kaila kecil. Kaila yang hidup dalam imajinasi sosialnya, Kaila yang kemudian tersedu setelah apa yang telah diperbuatnya.
Hari-hari berganti. Bibi membelikan sepatu boot untuk Kaila. Sepatu itu berwarna merah. Kaila yang hitam legam dengan sepasang sepatu yang benderang. Tak terbayangkan betapa wajah sayu Kaila tetap tak dapat dikalahkan oleh sepasang yang menyala itu. Kaila berlari-lari, menenteng tas, dan dengan percaya diri terjun di antara dedaunan. Sampah-sampah berserakan dalam lubang di depan rumah Kaila. Halaman depan rumah seseorang yang selalu menolak Kaila untuk datang. Ia hanya bermain, menyambangi rumah itu dan memiliki harapan ‘kapan aku bisa bermain denganmu, Lala’. Lala si anak orang kaya, bapaknya lulusan Perancis, ibunya terkenal sangat cantik. Kaila juga ingin cantik, ia kemudian terjun bebas. Kaila yang hanya jongkok di pinggiran lubang itu kemudian menatap ada satu botol cream yang telah dibuang. Kaila ingin cantik, tapi Kaila tak ingin berbohong. Maka, inilah imajinasi sosial Kaila yang kedua, bahwa apa yang diinginkannya tak boleh dinodai dengan sedikitpun kebohongan. Sekalipun lara menerpa. Umpatan tetangga pada perempuan kecil yang memiliki keinginan cantik itu menghujam. Kaila, Kaila. Tubuhmu bau dedaunan pohon nangka yang kering, kau tengah menjumput sampah-sampah orang lain. Kau ingin cantik, Kaila, untuk apa? Untuk ditaklukan?
Hingga Kaila belajar menghitung. Otaknya encer, tapi ia masih suka salang sangka. Soal-soal penjumlahan dari Bibi ia libas semuanya. Tak peduli daun-daun padi itu membuat gatal-gatal tangannya. Karena ia menulis di atas karung-karung yang berisi padi yang belum digilas kaki-kaki untuk dipisahkan antara daun dan bijinya. Kaila menghitung dan menjawab dengan cepat, ia benar semua. Seratus untuk seluruh penjumlahan, otaknya benar-benar encer, namun tiba waktunya soal ‘pengurangan’, lantas ia terjebak. Kaila, Kaila. Ia memang terlalu suka diperintah, untuk kesekian kali ia mudah ditaklukan. Tapi ia belajar dengan baik soal pengalaman. Ia tak ingin terjebak lagi, untuk soal selanjutnya masih ada yang salah, namun ia lebih teliti. Selain tak ingin berbohong, ia juga tak boleh dibohongi. Bibi harus jujur dengan mengajari dahulu Kaila, barulah memberi soal yang belum pernah sama sekali Kaila kerjakan. Kaila enggan kecewa, ia menentang pengajaran demikian. Namun Kaila masih mencoba menyenangkan hatinya. Ia bahkan belum sekolah dan belum cukup umur untuk masuk taman kanak-kanak tapi Kaila ingin sekolah dengan segera.
Satu hari setelah tiba tanggal di mana ia lahir, hari Rabu, saat Kaila berumur empat tahun ia mendaftar sekolah. Taman Kanak-kanak, Kaila begitu berani meski tantangannya begitu berat. Ia akan berhadapan dengan penyakitnya dan rasa kesepian. Kaila yang sedikit teman karena kepalanya dikerubungi satu penyakit ganas yang diidapnya mulai dari umur sembilan bulan. Kaila yang malang. Kaila yang selalu dijaili oleh seorang teman laki-lakinya, dibukalah kerudung Kaila. Tujuannya untuk memperlihatkan betapa kotornya penyakit Kaila. Itu mengapa Kaila ingin menjadi cantik, salah satu cita-cita utopis. Realitasnya Kaila hanya menjadi bahan ledekan, bahkan ketika ia di depan rumah Lala ia hanya berani menatapnya saja. Kaila terlihat berdiri di belakang pepophonan, bunga Bougenville yang barangkali tak berbau. Yang berbau justru rambut Kaila, diselimuti obat-obat yang selalu diyakini dapat menyembuhkan penyakitnya. Namun tak bekerja karena saking ganasnya. Kaila, Kaila, hingga kau lulus dari taman kanak-kanak, juara dua lomba menyanyi, pentas di depan guru-guru kala itu, tak jua membuat impianmu mandi di rumah Lala bersama kawan lain terpenuhi. Kau hanya penjaga pintu, hingga selepas itu diusir. Kau layak menangis, Kaila. Tapi hari-hari itu berjalan hampir serupa. Kaila kau ditaklukan oleh harapan-harapan bahwa mandi di rumah Lala yang bagus itu suatu kebanggaan, kau menunggu di depan pintu hingga Lala dan kawanmu lainnya selesai mandi. Mereka memberi janji padamu untuk bergantian, namun semua tak pernah terlaksanakan. Setelahnya, kau hanya diperintah pulang, menunggu kesempatan mandi lagi esok hari. Picik, sombong. Kaila, seorang Lala memang cantik tapi ia anak orang kaya, dan otaknya sangat kolonial.
Tahun pun berganti, perlahan sedikit-sedikit suasana berubah. Lala mendengar kabar dari tetangga Kaila juara satu di kelas. Kaila sangat senang karena akhirnya tetangganya menyambutnya dengan baik. Penyakitnya yang ganas itu tak menyerang kecerdasannya. Penyakit itu bukan bagian yang menyusahkan untuk Kaila, hanya sejenis olokan, tapi sejak belum sekolah otak Kaila bekerja dengan amat baik. Bahkan di semester satu saat kelas satu sekolah dasar Kaila mendapat nilai sempurna di mata pelajaran matematika, dan hampir seluruhnya, kecuali Bahasa Indonesia. Kaila yang malang kini disayang. Guru agama juga begitu menyayanginya, kala taman kanak-kanak Kaila kesulitan menulis alphabet namun begitu fasih jika menulis hijaiyah. Kaila bersuara lumayan, ia merapalkan an-naas dengan murottal. Ini lingkungan sosial Kaila yang ke sekian, ia memang tak mudah ditaklukan.
—
Kaila Sekarang
Aku kesal, saat pertama kali jatuh cinta aku harus menyusuri suatu tempat, bersolek dan membawa selembar surat yang di dalamnya berisi bandul kesukaanku yang berasal dari penemuan bapak di jalanan. Aku tak bertemu dengannya padahal perjalananku dengan sepeda jengki telah lumayan jauh. Dan memang di jalanan itu takkan aku temui ia. Itu hanya bagian dari asumsi-asumsi, jangan-jangan ia berasal dari sekolah itu. Kisah cinta pertama yang payah, meski Kaila gemar menuliskannya di buku harian sebagai perjumpaan-perjumpaan yang memiliki cerita lucu. Karena bertahun-tahun lamanya Kaila diberi petunjuk di mana keberadaan cinta pertamanya itu. Tapi kian hari kian malas saja Kaila, karena cinta bukan yang ditaklukan, bukan jua untuk menaklukan.
Maka, Kaila tak marah pada sahabatnya sekalipun katanya Erik memacari sahabatnya sebab Kaila menyukai Erik. Erik menolak mentah-mentah Kaila. Erik menaklukan Sanah, maka Kaila akan menyerah. Dan cinta akhirnya berarti penaklukan dan pendisiplinan yang keji dan menjijikan. Kaila terus berjalan, ditemuinya seorang laki-laki, ia begitu kasian pada laki-laki itu. Lalu Kaila menolongnya, menemaninnya bertahun-tahun, menghibur, dan Kaila ditinggalkan. Hubungan yang berdasar atas penaklukan lagi-lagi, dan relasi kuasa yang menyebabkan trauma bertahun-tahun pada Kaila. Maka, Kaila, untuk apa menjadi cantik jika hanya demi sebuah penaklukan dan ditaklukan?
“Kaila duduk di sebuah kursi dan berbincang dengan seseorang. Di situlah untuk pertama kalinya ia merasa bahwa kala itu begitu hangat. Kaila merasa lebih hidup setelah sekian lama murung.”
Akhirnya bertahun-tahun sudah semua telah pulih kembali. Kondisi material itu ialah pendidikan bagi Kaila, seorang perempuan, sebagai manusia. Cinta yang datang padamu tidak untuk menaklukan, itu mengapa ia tak dapat datang seperti seseorang bertamu dan mengetuk pintu. Bersua denganmu dan mengekspresikan sesuatu, lantas menggodamu dan menawarkan berbagai imaji soal hidup bersama. Bahwa ada sesuatu di luar kalian yang butuh diubah, hingga di antara kalian akan senang sentausa.
Kau juga, Kaila, mirip seperti itu. Kau mencintai seseorang bukan untuk menaklukannya. Kau akan biarkan ia teguh dengan pendiriannya bahkan soal pilihan pada perempuan lain, misalnya. Tapi, Kaila kau mengalami. Pendidikan revolusioner bagi seorang perempuan ialah mengalami. Dan kau tak ingin menaklukan dan ditaklukan. Kau akan memandangnya teduh sesekali, mendengarkan apa yang diucapkannya, sesekali tertegun dan tersenyum, bahkan tertawa bersama. Hingga waktu itu datang kalian akan menyadari bahwa ada sesuatu yang terpaut. Selama itu bukan proses penaklukan dan ditaklukan maka, Kaila, patriarki telah runtuh. Hukum di Inggris sesekali berlaku, seorang sister dan brother akan berjalan bersama dalam satu ide.
Selamat lelap, brother. Kaila akan berjalan untuk menyusuri langkah lebih lanjut. Ia akan mencari keadilan dan realitas atas cara berpikirnya. Ia tak mau menaklukan dan enggan ditaklukan. Ia akan menjumpa kesempatan di mana ada seseorang yang tak punyai hasrat menaklukan perempuan. Laki-laki itu akan berujar semoga alam merestui dengan kesungguhan, bukan dengan gairah menggebu untuk mendapatkan Kaila.
Selamat menunggunya, Kaila, jika telah yakin bahwa cinta bukan pendisiplinan atau penaklukan. Maka ia akan datang. Seseorang yang serupa. Karena alam ini tak terlepas dan akan menautkan. Bukan kalian yang akan merengkuh, namun alam ini telah memeluk kalian begitu erat. Karena cinta kalian ialah yang tertaut, bukan yang ditaklukan, maupun saling menaklukan.
Dan tetap tanya Tuhan, Kaila, mengapa dia begitu manis dan tersenyum hingga kisah ini usai…