Hancurkah, Apa Utopiamu?

Memulihkan
5 min readDec 9, 2020

--

Pulang dan Pergi

Inilah hidupku. Hidup terbaik yang aku pilih dan teramat menyenangkan. Salah satu kehidupan paling membahagiakan. Sebuah pilihan yang amat aku sukai. Ya, pergi ke warung kopi membicarakan banyak hal. Bicara diskursus-diskursus mendalam. Memiliki teman terbaik, beberapa dari mereka tidak narsis. Aku suka, ya, kehidupan ini tujuannya ialah untuk beri manfaat untuk orang lain, bukan eksistensi. Ah, bocah-bocah baru di kampus itu, narsis sekali. Mereka haus eksistensi. Batinku. Seusai melepas segala historis diriku sendiri yang dulu juga pernah ingin eksis, meskipun saat ini perlahan hal itu lepas. Bahkan, sekarang aku sendiri, semuanya lepas dengan sendirinya. Aku hancur, meski belum aku ceritakan mengapa. Aku merasa cukup dengan kenarsisan, bahkan dengan kehidupan yang belum lama aku pilih ini pula, kini, aku juga merasa jenuh dan cukup.

Dahulu, aku menyukai pergi ke warung kopi itu, berdiskusi. Walaupun aku sepakat juga dengan salah satu temanku yang amat baik itu, yang bercerita juga tentang sedikit kehidupannya. Lama-lama melelahkan juga berdiskusi. Setiap bertemu diskusi. Meskipun, aku memahami bukan diskusinya yang melelahkan, tetapi pertemuan demi pertemuan yang tak menghasilkan apa-apa.

Dahulu, ketika Karisma belum masuk ke showroom untuk berpindah ke Tuan barunya, aku sering menyambangi warung kopi. Hampir setiap hari, selepas kerja. Seusai dari manapun juga, aku selalu menyempatkan untuk datang. Hanya sekadar untuk mengobrol, membeli makanan, menghabiskan uang hasil kerjaku. Sebagian dari waktu itu aku mendapatkan pandangan baru, ya aku dapat bilang secara ideologis terbentuk. Itu mengapa, aku menyukai pilihan hidupku ini.

Pilihan? Pilihan untuk menjauh dari teman-teman kampusku di mana dulu aku salah satu yang tenar. Aku tidak tahu satu-satu mereka memandangku sebagai apa, tapi sebagian dari mereka melihatku sebagai penentang pengurus kampus. Anti pada proyek-proyek yang baru-baru ini baru juga kusadari ternyata itu semacam sirkulasi kapital yang ketiga, betul, tersier. Baru-baru ini juga aku merasa prinsipku ini hancur, karena apa? Betul, uang. Kini kau takluk, Nak, setelah takluk juga pada si bajingan bangsat. Aku membenci kapitalisme, karena selalu ada saja yang ditaklukan.

Dahulu, aku datang dengan sebuah cerita. Ya, menceritakan betapa bobroknya jurusanku itu. Aku mengingat sebuah tawaran dari bajingan itu pasca aku menceritakan kisah godfather. Ia bilang cara satu-satunya adalah berserikat, Mba. Bajingan itu, benar-benar bicara saat itu, dan aku melihat ketidakberdayaan untuk pertama kalinya. Apa ini?

Aku terus percaya pada pilihan hidupku ini. Aku bahkan tidak percaya dapat membiayai hidupku waktu itu, untuk pulang pergi hampir setiap hari di tempat yang jauhnya lebih dari 30 menit jika ditempuh dengan Karisma-ku. Hah, perempuan militan ini. Hah, siapa ini satu-satunya perempuan, berani betul atau gimana, tuh. Entah. Sampai waktunya.

Perempatan yang lampu merahnya begitu lama itu. Terik lampu Kotabaru itu tak lagi bicara tentang kisah-kisah yang baik. Aku tak punya lagi kenangan berbarengan dengan teman baikku itu untuk pulang bersama hanya karena untuk pertama kalinya aku merasa takut pulang. Ia mengucapkan kata perpisahan di perempatan yang akhirnya menjadi tempat untuk mengabadikan berbagai potret dan kesedihan, siapa bilang perempuan satu-satunya tak pernah lelah dan menangis. Dominasi itu terlalu jahat, dominasi itu material di dalam patriarki.

Hancur

Tiga bulan pasca setahun yang lalu tepat di tanggal ini. Temanku yang amat baik itu memberiku rokok karena aku memintanya. Aku merokok pertama kali ketika merayakan kebebasanku dari trauma berkepanjangan. Ya, 6 Oktober 2019 saat mantanku yang brengsek itu menikah aku merayakannya dengan mencicip rokok, bukan mencicip namun 7 rokok sudah aku libas di malam pertama aku merokok. Rasanya merokok pertama kali lebih membuatku berdebar ketimbang ujian skripsi yang seperti pertunjukkan bodoh itu. “Aku akhirnya bertemu dengannya,” kataku. “Nice.”

Aku lama tak bersua dengan si bajingan itu. Aku hanya terdiam. Aku tidak tahu jika itu dinamakan trauma. Trauma selama 5 tahun sebelumnya, sampai membuatku tidak bisa menjalin dengan siapa-siapa, ditambah juga dengan tumpukan trauma satu ini. Bajingan. Kukira semua akan membaik di hari itu, tapi apa yang dilakukannya? Benar, pergi.

Lebur

Histeria — Adrian Yunan

Aku hanya terdiam. Aku seperti perempuan bodoh yang bisu. Kau tahu yang lebih material ketimbang yang kau sebut sebagai patriarki itu sendiri? Benar, dominasi. Jika kau beranjak untuk mencari di mana patriarki, ketika kau ditanya, dan kelu untuk menjelaskan di mana patriarki itu ada dalam kehidupan sehari-hari, maka lantanglah, jawablah dengan hal paling material dari patriarki itu! Ya, dominasi!

Ketika kau tak mampu untuk berbicara padahal memiliki mulut untuk mengatakan tidak. Untuk bertanya “bagaimana kabarmu, sayang?” itu saja kau tak mampu. Untuk mengatakan, “ini berdosa, kekasih, kau tak selayaknya melakukannya”, “jangan narsis, sayang, kerjamu saja tak pernah becus dan gitu-gitu aja”, “sayang, ini krisis kepemimpinan”. Ah bajingan.

Kini, aku hanya lenyap, dan begitu lenyap utopiaku lenyap bersamaku juga.

Kembali

Aku mungkin bisa sampai di Ashburton Grove, lima belas menit dari kampus di mana aku belajar. Aku menatap foto Tony Adams dan The King Henry. Aku akan memakai masker, kemudian membukanya sesekali jika aku ingin berfoto. Aku mungkin akan senang masa masakan instan yang rasanya gitu-gitu aja. Aku akan berpuasa seperti waktu kecil. Aku akan tidak tidur untuk mengerjakan tugas kuliah. Aku mungkin akan bersahabat dengan baik dengan grammarly. Aku mempergunakannya untuk kebaikan kehidupan.

Atau aku akan mendatangi salah satu tempat paling sejuk di musim panas di Sydney. Melintasi jalan yang sepi di mana Ashton lewat, ia akan menyapaku dengan memamerkan band-nya. “Hi, you know my band?” aku hanya akan nyengir untuk membatin bahwa mereka dewasa bersamaku. Waktu itu rambutku disemir coklat, menyisakan warna hitam yang dominan. Rambutku lurus, panjang, dan digerai. Aku suka sekali memakai kemeja. Mengenakan kacamata dan tersenyum. Aku terinspirasi gaya Bae Suzy meski ia perempuan penyuka banyak lelaki.

Aku giat belajar dan membawa banyak ilmu. Aku pulang, membuat rumah, dan kembali untuk bergerak. Kemana-mana. Dengan aku yang sekarang, aku tak bisa kemana-mana. Dengan aku yang sekarang yang tak bisa kemana-mana, nyatanya aku sudah lebur juga. Hancur berkeping-keping.

Apa yang aku pelajari?

Dalam sehelai surat aku belajar banyak hal. Terbentuk secara ideologis itu bagus dan utama, namun mapan secara administratif juga utama. Kini, aku hancur, bukan karena aku kehilangan. Tapi aku sudah menjadi kepingan yang tak tertata. Apa yang diupayakan rasanya sia-sia. Karena apa?

Dalam sebuah surat itu juga aku menyadari, bahwa berserikat memanglah penting, tapi menempa diri sendirian untuk membuat serikat itu lebih canggih juga amat penting, kita, kata surat itu tak ada gunanya jika hanya menjadi individu yang tak berguna. Secara individu kita juga perlu canggih, menjadi yang dapat memimpin. Kini krisis itu bukan krisis finansial, krisis itu merenggut individu, krisis kepemimpinan. Apakah pemimpin itu banyak?

Bajingan itu telah menghancurkan hidup saya, kini aku hancur lebur, aku hanya akan melanjutkan hidup, sendirian.

Pada album Sintas milik Adrian Yunan, pasca dengar lagu Histeria soal trauma, maka aku ingin mendengar lagu selanjutnya “Lari”. Selamat tinggal, aku akan hancur sendirian. Selamat menikmati hidup seperti biasanya, bajingan, kini rasa bersalah yang kau gunakan untuk tameng dan dalih telah lenyap. Dengan begitu rasa bersalahmu hilang bukan? Bajingan.

Utopiaku terlihat biasa saja:

- Terbentuk secara ideologis bagus dan utama, tapi administratif juga yang utama

- Berserikat iya, individu yang tertib, berguna, bisa memimpin, ah…

- Kuasai teknologi, kita tidak hidup di zaman batu di mana pikiran developmentalis menganggap zaman itu kuno dan tak ada seonggok manusiapun sejahtera, mereka berzaman ditandai oleh teknologi, tukang batu membuat teknologi dari batu, dengan itu mereka senang dan bahagia

- Geser nilai tukar, dengan nilai guna, revolusi permanen, aku sepakat dengan itu, dan kau masih pakai konsep negara? Kapitalisme adalah ekologi, negara…negara…negara, ah nyanyian dan bualan lawas, negara sudah kapitalistik sejak awal apa yang terpisah dari kapitalisme? Aku? Bagian sirkulasi kapital yang ketiga dan masih tak punya malu memiliki utopia

- Dan lain-lain.

--

--

Memulihkan
Memulihkan

Written by Memulihkan

0 Followers

Kisah sehari-sehariku. Mengenang hari-hari baik dan buruk sepanjang hidup.

No responses yet