Menghitung
Aku mulai menghitung berapa hari lagi akan berada di kamar ini. Akan sering bersamamu. Dan kemudian setelah hari-hari yang aku maksud habis, berlalu, aku akan kembali ke kotaku. Jauh darimu dan pastinya akan memikirkan berbagai cara untuk bisa bertemu denganmu lagi. Mulai memikirkannya saat ini atau bahkan sebenarnya sudah jauh-jauh hari. Sebagian daripadanya tidak kamu ketahui. Seperti mengapa aku begitu bersedih ketika uangku hanya terkumpul sedikit. Tak mencapai target. Dan malah menagihmu. Karena satu-satunya cara saat aku harus bertemu denganmu kelak adalah sepeda motor. Rasa-rasanya kembali ke Indramayu dengan sepeda motor adalah cara paling asik dan paling murah. Tentu saja aku harus bertemu kembali denganmu bukan? Dan jangan kamu saja yang berusaha, aku pun juga. Dan bagiku itu akan menjadi perjalanan-perjalanan yang menarik.
Selain itu ada banyak sekali alasan dari perilaku dan tindakan yang sebenarnya tidak saling kita tahu meski sejauh ini kita hidup berdua. Tapi itu bukan soal yang besar. Sebab kita adalah manusia. Mudah berubah dan tak saling bisa menjelaskan banyak hal. Tiba-tiba ragu atau sering merasa yakin kembali. Yang penting ketika musibah dan hal-hal buruk menimpa, salah satu dari kita bisa mengajak bertahan dan bersepakat kembali. Atau menyadari kembali sejauh apa kita sampai saat ini. Walaupun yang terakhir ini aku tak begitu yakin kamu sudah menganggap kehadiranku amat berarti dalam hidupmu. Kamu punya banyak cerita bersama orang-orang sebelum aku dan aku tidak pernah tahu seberapa besar arti mereka dalam hidupmu, tidak semuanya, mungkin satu atau dua dari mereka. Tapi yang penting bagiku saat menulis ini adalah bagaimana kehadiranmu dalam hidupku.
Sikap gegabahku untuk bertaruh pada kisah paling duniawi perihal percintaan. Dekat sebentar, mabuk bersama, merokok, dan mendengarkan Timur kemudian meyakinkan diri tidak akan lagi ada sosok selain laki-laki ini di kehidupanku kelak. Melupakan perlakuan buruk orang tua dan menentukan pilihanku sendiri. Menjauh dari banyak teman-teman untuk sementara demi memikirkan ulang apa arti mereka dalam hidupku sejauh ini. Bukan tanpa alasan mengapa aku begitu bosan bertemu dengan teman kerja, misalkan, dan katamu “kamu terlalu banyak bersamaku”. Karena aku malas untuk rajin dan menjadi militan dalam pekerjaan ini. Teman-teman akan bilang aku sudah tak minat ikut berkumpul lagi. Belajar. Belajar untuk tidak tunduk pada hal-hal yang tidak aku inginkan dan senangi. Menolak. Bahkan untuk berbagai sikap semacam itu aku masih harus belajar. Belajar menolak karena selama ini aku tersiksa dengan rasa tidak enakan dan berat jika tak berkata ‘iya’.
Aku juga memilih untuk banyak pergi bersamamu karena sedang memikirkan ulang tentang teman-temanku yang ada di Jogja. Mengapa mereka terlalu nyaman dengan rutinitas mereka. Seberapa besar mereka bisa berkembang. Bosan masih mendengar kabar tentang buruknya manajemen organisasi. Diskusi-diskusi yang hampir serupa dan entah hasilnya apa. Dunia sudah berkembang pesat. Tapi modal mereka sekadar wacana dan tak ingin urun daya untuk misalkan belajar desain, podcast, youtube, atau berbagai strategi lainnya. Atau bahkan riset tentang bahan-bahan yang bisa digunakan rakyat untuk bertahan di tapak. Entah jebakan yang bikin kulit gatal atau bahan-bahan yang bisa menggerus tembok dan pagar polisi dengan perlahan. Ya jadi aku bucin saja.
Aku mesti akan mengingat banyak hal melalui foto-foto yang sudah aku dapatkan dari perjalanan kurang lebih 8 bulan mulai dari pertama kali mengenal dan dekat denganmu. Aku akan ingat kamu jemput jam 2 pagi di kost lama hanya sekadar makan lamongan atau nasi kuning. Atau kau jemput di pagi hari sekadar untuk sarapan berdua. Lalu kau antar aku pulang dengan sedikit keluhan ketika hampir sampai kost lagi “Yah, udah mau sampai”. Menangis sesenggukan kalau agenda pergi bersama hampir batal. Atau melakukan hal-hal konyol seperti jalan jauh karena aku ingin marah tapi tertahan. Betul, aku akan ingat cara-caraku membuang amarah. Berjalan jauh, muter-muter dengan motor sendirian, ke warmindo sendirian di malam hari, memotret jalan, dan pulang dengan lelah kemudian tidur.
Aku juga akan mengingat kost lama tak lagi jadi tempat tidur karena setiap malam menghabiskan banyak waktu denganmu. Males berangkat kerja tepat waktu dan banyak deh. Dan dengan rutinitas semacam itu, mendekati masa penghabisan sebelum resign akhirnya kita tinggal bersama. Banyak hal yang bisa dikompromikan meskipun ada juga yang tidak. Tak masalah dengan baju-bajumu yang penuh keringat, omelanmu, bau mulutmu di awal-awal, abu rokok yang hampir selalu mengotori lantai, busa sabun yang masuk ember, piring kotor berserakan. Yang tidak bisa dikompromikan adalah download tinder dan bumble, menyiksa diri dengan menjedotkan kepala ke tembok, dan melempar kunci atau melempar barang seenaknya. Tidak mengabari apapun saat tidak pulang. Yah begitu saja, sudah jam dua dan aku hendak tidur.
Selamat tidur sayang.