Menjadi Perempuan yang Terbentuk Hari Ini

Memulihkan
6 min readSep 14, 2020

--

Saya tak bisa menulis banyak untuk waktu yang saya telah tempuh selama 23 tahun di bumi. Tapi hari ini ialah produk dari saya selama itu. Saya cenderung mengatakan bahwa saya ‘terbentuk’, sebab cara berpikir historis atas hidup. Kadang saya membentuk diri, akan tetapi sering pula saya membentuk diri berdasar konstruksi dari kehidupan, serta pula ‘dipaksa’ oleh kehidupan itu sendiri. Maka, terbentuk adalah makna dari ketidaksengajaan dan kesengajaan di waktu yang bersamaan.

Saya menulis ini bertujuan untuk menghormati dan menghargai diri sendiri atas apa yang telah saya lakukan selama ini, yang buruk ataupun yang baik. Saya tak bisa merangkum kisah hidup, juga merangkumnya sama pula dengan menyederhanakannya, padahal saya tak pernah memandang orang lain sedemikian sempitnya. Setiap manusia terbentuk oleh historisnya masing-masing, dan apa yang mereka ucapkan di hari ini, upaya, langkah, tindakan, tak pernah terlepas dari waktu sebelumnya. Tapi saya juga harus ingat bahwa kita hanyalah manusia, seonggok makhluk berakal itu memiliki historis yang amat panjang, kisah yang pelik, rumit, walaupun sebagian besar tak dipungkiri diarahkan menuju keseragaman oleh kehidupan yang sudah lama berubah ini. Historis, satu hal yang membuat diri ini dapat memahami bahwa kehidupan orang lain tidaklah sesederhana itu, ia mesti berbicara hari ini karena ia belajar dan mengalami kemarin. Tapi orang-orang hidup untuk hari ini meski tak semuanya.

Ia bisa saja terluka dan tengah menyembuhkannya. Ia bisa saja sedih beberapa hari lalu dan masih nyeri sampai saat ini. Banyak, terlalu kompleks memahami diri sendiri begitu juga memahami orang lain. Kadang-kadang diri ini juga tak sanggup untuk menerima cerita dan beban orang lain, walaupun proses bercerita salah satu yang juga melegakan untuk berusaha melawan maupun tunduk pada kehidupan.

Selama ini saya memetakan beban-beban sekaligus menaruh sesuatu yang membahagiakan di sela-selanya, karena saya tak mungkin hidup selepas itu. Sepenuhnya menanggung beban ataupun sepenuhnya bahagia, jika mungkin sepenuhnya pun, yang kedua tentu paling tidak bisa saya lakukan. Saya memang hidup untuk beriman kepada Allah, diri sendiri bagi Tuhan, tapi orang lain tetaplah menjadi pertimbangan besar, itu mengapa saya tak bisa untuk selamanya ‘bahagia’ sendirian, melakukan atas nama ‘kebebasan dan kesenangan’ diri sendiri. Aku bukan orang yang ‘bebas’, saya tak mungkin lepas dari realitas kehidupanku. Rumah, organisasi, tetangga. Apa yang saya pilih lebih banyak adalah buah pertimbangan. Tentu, saya memiliki impian yang amat tinggi, bisa dikatakan begitu untuk ukuran kehidupan saya, tapi untuk mencapainya saya tak boleh merugikan orang lain di sekitar saya. Berusaha sedapat mungkin menggapainya dengan upaya diri sendiri. Sebab apa, di rumah misalkan, antara ibu dan bapak, adik dan kakak, historis kehidupan ini juga bersaksi atas perbedaan kesadaran.

Bisa saya katakan, saya terlepas dari rumah sejak SD. Saya mulai melanglangbuana di sana meski tak bisa dikatakan itu perjalanan yang jauh, saya bukan jenis manusia yang bisa untuk bepergian jauh, selain karena tak punya, juga tak ada imajinasi bagi diri saya untuk melanglang jauh seperti mondok di pondok pesantren. Alhasil, saya banyak bertarung dengan kehidupan sejak SD, mulai membebaskan belenggu bullying sejak belum sekolah, dan mulai merebut status sosial melalui pendidikan. Akhirnya, seonggok anak dari tukang becak ini diakui di masyarakat karena pintar, katanya. Perjalanan hampir serupa saya lakukan, dalam artian apa yang saya lakukan berulang-ulang adalah menjadi juara kelas, mendapat sekolah negeri yang agak murah, begitu lagi, hingga kuliah. Bahkan sampai detik ini saya memiliki impian untuk melanjutkan studi ke Australia. Itu tak mudah, itu produk historis kehidupan ini.

Ada cerita yang amat material. Bagaimana si kaya bertaruh tinggi-tinggian nilai ujian akhir. Bagaimana sepeda saya yang jelek setia menemani sekolah, tak pernah telat berangkat sekalipun sepanjang sekolah dari SD hingga SMA. Juga motor butut Karisma yang dari SMA memang setia jadi teman kluyuran. Walaupun saat SMA ia tak pernah kenal jalan selain jalan Gotong Royong yang paling terkenang itu. Hingga kuliah, motor itu amat sangat berarti, menemani perjalanan ke Gunung Kidul sampai lereng Merbabu.

Bagaimana saya yang perempuan?

Saya telah berlatih mencuci sejak belum sekolah, ketika SD saya sudah menguasai berbagai teknik mencuci, baik piring maupun baju. Sebelum berangkat sekolah pun segala urusan kalau tidak cucian piring, ya baju sudah dibereskan. Lalu berangkat sekolah tanpa terlambat, bahkan jam ke-0 sekalipun. Saya bisa memasak sederhana sejak SD, nasi goreng atau goreng mi untuk makan adik misalnya. Saya juga gemar membantu simbah sejak saat itu menggoreng gorengan dan memasak bakmi untuk dijual karena simbah jualan. Di sela-sela, kehidupan sekolah saya yang berat, tapi rasanya tak berat juga, sebab entah saya juga tak fasih betul mengingat bagaimana saya juara kelas, menempuh pelajaran, dan pada waktu itu diselingi riyadho’ mulai kelas 4 SD, puasa senin kamis maupun daud sampai kelas 6 SD. Selesai ujian nasional berhenti, dilanjut kalau tidak salah SMP kelas 8, dan juga SMA kelas 11.

Saya sebetulnya tak suka kerja domestik yang dalam kehidupan sepanjang itu juga disematkan pada perempuan, aku tak menentang kerja-kerjanya karena tugas domestik bagaimanapun juga tetap perlu dikerjakan, tapi jika itu berwujud kewajiban ya betapa pusing kepala saya memikirkan dua hal yang sama-sama berat; pelajaran sekolah dan tugas domestik. Tapi entah, kata orang Jawa akhirnya saya mrantasi gawe pula. Bertahan sejak SD hingga SMA, kalau tidak membantu ibu mencuci sebelum berangkat sekolah, ya membantu simbah siap-siap jualan, barulah saya mendapat uang saku. Dan sejak TK pun simbah yang memberi uang saku, bapak? Tidak punya uang. Ibu? Kadang-kadang. Saya harus menutup simbah banyak bicara atas uang saku yang diberikannya itu karena sering diungkit, maka dengan itu saya harus membantunya. Ketika saya dipuji karena gorengan saya ‘ayu’ seperti perawan, maka kepuasan bagi simbah karena cucunya sudah dipuji.

Apa engkau tak menentangnya?

Kadang, saya sudah amat lelah, sehingga hanya meminta uang saku saja ke simbah tanpa membantu. Kadang ketika mandi harus berlumur air mata karena tak jarang nyelekit. Kadang bisa ditahan, karena bagaimanapun tak bisa berangkat sekolah tanpa uang saku. Pernah mencoba untuk minta ke bapak, tapi tetap saja bapak datang ke simbah. Dan sampai sekolah saya harus baik-baik saja menerima pelajaran, dan juara. Itu mengapa saya suka sekali belajar. Saya suka belajar memang sebab enak dan memuaskan, saya bisa berlari mencari kesenangan. Dan berkat itu pula saya memiliki banyak teman dari berbagai lapisan. Saya mengajari mereka memang, bebas, mereka menjadi lebih bisa juga tak apa, tapi mereka tak menempuh kehidupan yang sama seperti saya atau proses mendapatkan berbagai pelajaran itu juga tak sama. Barangkali itu salah satu yang membuat saya persisten menghadapi kehidupan ini, juga berbagai manusia.

Saya sadar, saya perempuan, dan bagaimana sejak kecil diperlakukan. Keasadaran itu yang membuat saya memahami perbedaan kesadaran. Saya perempuan, namun bukan penganut kebebasan. Ada perjalanan panjang yang saya tempuh yang tak orang kira seperti, lho saya kira kau pendiam, tetapi sekarang merokok. Ada di sisi lain yang paham, jalan kehidupan ia sudah begitu, tidak kaget kalau ia merokok. Ada yang melihat saya dari pribadi, adapun yang memahami saya dari histori. Saya cenderung memahami orang lain dengan cara yang kedua.

Dampak dan kelindan dalam hidup saya akhirnya membentuk diri yang terlihat pendiam kadang-kadang, tak berani asal bicara jika tak tahu dan paham konteks, tak berani berujar karena menyinggung manusia dan segala historis kehidupannya.

Sekali lagi saya bukan perempuan penganut kebebasan, meski saya menuntut pembebasan. Saya tak bisa menentang tugas-tugas domestik dalam realitas kehidupan saya, karena itu berarti menyiksa ibu saya sebab masih disematkan tugas-tugas semacam itu-lagi-lagi secara historis pada perempuan. Meski suatu waktu saya pernah berusaha untuk tak mengerjakannya dalam waktu yang lama, sebab kondisi material yang sudah berbeda hari ini, akhirnya tugas domestik dikerjakan pula oleh bapak. Ketika saya mencapai berbagai hal yang tak diduga-duga bisa dilakukan perempuan, semuanya, baik tugas domestik dan publik rasa-rasanya sekarang jauh lebih bebas untuk belajar dan klayapan kemanapun.

Kini saya akan belajar lagi, terus belajar menjadi perempuan. Akhir-akhir ini saya merasa menjadi perempuan yang tidak asik. Sejak dulu barangkali, sosok serius dan pendiam. Kadang ingin bertaubat, tapi apa daya manusia adalah produk historis kehidupan ini. Kau tak bisa menuntut satu perempuan menjadi ceria seperti halnya perempuan lain, satu orang misalkan yang pernah mengalami pelecehan atau lika-liku kehidupan yang pahit tak bisa disamakan dengan perempuan yang tak mengalaminya atau kebutuhan hidupnya sebagai perempuan bisa terpenuhi. Kita diarahkan pada cara berpikir dan kehidupan yang seragam, tatanan arus utama, dan lainnya, kadang-kadang kisah hidup seseorang hampir sama, ketertindasannya, lika-liku hidupnya hampir sama, tapi bagaimana tiap orang menghadapinya boleh jadi berbeda-beda.

Terakhir, hari ini saya mencoba mengungkapkan perasaan saya pada seorang laki-laki. Saya ingin tahu, saya akan ditolak dengan alasan apa, atau diterima dengan alasan apa. Jika boleh saya tebak, alasan pribadi mungkin akan membuatnya menolak, tapi alasan histori membuatnya mungkin menerima saya. Entah, saya anggap baru pertama kali belajar suatu cinta yang pernah dibenturkan dengan buku-buku kali ini. buku-buku yang bagus. Entah, saya hanya ingin menaruh sesuatu untuk dikenang di kemudian hari di medium ini. Selamat siang!

--

--

Memulihkan
Memulihkan

Written by Memulihkan

0 Followers

Kisah sehari-sehariku. Mengenang hari-hari baik dan buruk sepanjang hidup.

No responses yet