November Telah Berakhir
November Telah BerakhirGerimis selepas maghrib. Perasaanku tidak keruan, tetapi siapa kira bahwa aku hanyalah manusia pembangkang. Pada hatiku sendiri aku selalu mengelak. Hingga akhirnya, menyesal. Apakah hidup penuh dengan penyesalan?
Bayangkan saja, kisah tentang keberanianmu untuk menyanggah berbagai maksud bapak. Aku juga melakukan banyak hal yang sebenarnya juga tidak berguna. Benar. Apa yang bisa dilakukan pada hidup yang serba bertarung? Padahal sebetulnya itu bukanlah pertarungan. Sekadar berbeda kesadaran.
Akhir-akhir ini aku bertanya tentang apa yang dipertahankan dan perjuangkan. Sudah setahun ternyata aku mulai tak percaya dengan berbagai kehinaan ini. Bukan saja aku kehilangan prinsipku, aku juga kehilangan terlalu banyak. Harga diri. Apa ini tempat yang benar ataukah harus kutinggalkan?
Apakah tempat terbaik ini menghantarkan pada kesedihan simbah yang aku abaikan bertahun-tahun? Apakah beliau bahagia? Mengapa aku menulis hal semacam ini pasca beliau pergi selamanya? Apakah aku bisa menengoknya di kamarnya? Apakah menyucikan jasadnya itu betul-betul kesedihan? Ataukah aku sudah kehilangan banyak hati karena terlalu bercokol dengan banyak ‘kesadaran’? kesadaran macam apa ini?
Kali ini aku harus pergi ke mana? Kali ini aku bisa menjauh di mana? Tidak ada yang bisa mengembalikanmu lebih awal. Tidak ada. Aku membutuhkanmu hari ini, tapi kau juga membutuhkan dirimu sendiri lebih dari apapun.
Aku sedang duduk di warung kopi sendirian, mendengarkan lagu biasanya. “Bahtera” dari Alir. Lagu yang terus saja aku putar selepas kau tertawa dengan apa yang aku rasakan padamu. Hari itu bukan waktu yang tepat untuk kau bertanya padaku. Aku sedang memikirkan hal lain, trauma itu, pandangan kosong, lolong itu sedang memenuhi hidupku. Tapi tidak apa, sekalipun trauma itu datang seperti biasanya kau juga akan memutuskan hal yang sama. Makanya, tidak ada tuntutan dariku. Itupun juga demi kau. Kau tak harus memikirkan bagaimana caranya mengurusi lebih banyak kekacauan ini. Sebenarnya, aku ingin pergi dari sini. Orang-orang di sini sudah tak bersahabat lagi. Tatapan mereka, tatapanmu lebih senang jika aku pergi. Seperti itu rasanya. Aku ingin pergi, tapi bagaimana caranya?
Aku sudah melamar pekerjaan, tapi tak kunjung aku dapatkan. Aku ingin seperti orang biasanya pergi dari rumah untuk bekerja. Dibincangkan oleh tetangga, wah si dia sudah bekerja jauh. Begitu. Sederhana. Walaupun itu akan dipenuhi dengan banyak kenyataan tak mengasyikkan pada diri sendiri.
Aku akan melanjutkan ceritaku. Malam itu aku menolak untuk menjenguk simbah. Aku justru mengerjakan naskah. Deadline naskah. Aku berangkat ke warung kopi dan tertawa bersama teman lama. Teman lama yang pernah tahu bahwa sukar sekali bergaul dengan mereka, tapi banyak sekali yang sudah kami lalui. Kemudian, ada pesan masuk. Kopi almond-ku sudah habis. Simbah sudah tiada. Padahal tiga jam sebelumnya aku membentak bapak. Aku tak mau menengok. Aku takut seperti biasanya simbah akan menuntutku bekerja, takut bilamana ia menangis dan mengeluhkan berbagai kekalutan hidup ini. Aku takut pada diriku sendiri, bahwa benar saja akhir-akhir ini aku terlalu mudah patah dan terlalu banyak memikirkan bagaimana hidup ini berjalan. Aku mengeksklusi apa yang dekat. Hingga akhirnya, nyawa itu hanya seperti batre handphone. Kejam sekali aku. Kejam sekali aku. Kapan aku kembali menjadi manusia? Padahal, apa yang aku pikirkan itu takkan terjadi. Bagaimana orang yang sekarat dapat memarahiku?
Malam itu gerimis sudah reda, aku pulang dan menangis di pinggir selokan. Aku seperti masuk televisi saja ketika memarkirkan motor di depan rumah saudar. Melihat simbah sudah tak bergerak. Sudah mau disucikan, aku hanya ingat betapa lihainya beliau ketika ada orang meninggal, maka tak jemu untuk bergerak mengkafani, karena siapa lagi yang bisa selain beliau? Tapi malam itu akulah yang melipat kain putih itu. Apakah aku benar-benar sedih hari itu?
Tidak ada yang lebih melegakan sebetulnya selain beliau menuju sempurna dengan amat baik. Kata bapak. Tapi yang mengendap dalam diriku adalah berbagai penyesalan. Mengapa aku tidak menjadi cucu yang berbakti dan baik? Segala kekacauan dalam keluargaku bukan salah simbah bukan? Sekalipun simbah jahat pada ibu dan bapak di masa lalu?
Mbah, hidup ini memanglah keparat!
Basa Basi Sorowajan, 1 Desember 2020