Memulihkan
7 min readMay 17, 2020

Redup

Nyalakan lenteramu meski itu tak menerangi seluruh ruanganmu lagi, tetapi kata banyak orang ketika kau membaca dengan cahaya redup maka matamu takkan mudah lelah. Itu mungkin pesanku yang terakhir, jika kau tak ingin kembali lagi.

Melalui surat ini, Mas, seseorang sepertimu harus hidup. Dengan keyakinanku seperti biasa, sekali lagi bila kau tak berniat kembali, aku juga akan hidup, meski juga tak begitu terang.

Aku mencintaimu, dan jika kehidupan ini berkehendak bahwa kau tak bisa membalas cintaku, dengan amat sederhana aku akan menerima hal itu dengan lapang dada karena dari hidup itu sendiri aku belajar bahwa cintaku tak sepenting keberlangsungan hidup.

Apa yang orang-orang perjuangkan di bawah ketidakadilan dan ketertindasan; hidup, hidup bagi banyak orang. Kau adalah satu dari yang banyak itu. Aku mencintaimu sebagai manusia yang tengah mengasihi dan mencintai sesama manusia.

Seharusnya, kita berdua tak hanya menjalani cinta, tetapi menghidupi — kalau kata Efek Rumah Kaca

Untuk Mas

Sudah aku katakan bahwa terserah kau mau jadi apa, dalam surat-surat itu walau tak kau baca, salah satunya kutegaskan jadilah yang kau inginkan, Mas. Artinya lalui segala kehidupan yang menurutmu baik dilakukan walaupun tanpaku. Aku ceritakan sesuatu yang amat panjang dalam surat ini.

Pada ingatan yang aku kunci rapat karena aku sudah tidak membutuhkannya dan pada akhirnya semuanya perlahan lenyap, tidak banyak kuingat lagi, dan hanya sedikit samar-samar terlintas dalam bayang-bayang. Ketika aku membuka dinding media sosial berwarna biru mungkin hanya itu yang jelas aku ingat di mana aku bertemu dengannya pertama kali. Ia yang menderita karena ditinggal bapak dan kakak kesayangannya kembali ke Rahmatullah. Tersisa Mamak dengan ia seorang laki-laki bujang dengan kakak laki-laki lainnnya yang gemar menikah lagi. Ia yang satu-satunya tak memiliki pasport meski keluarga TKI. Ia bercerita padaku begitu riang, sebab bangga keluarganya pernah menjadi supir duta besar Arab. Wajahnya yang ke-arab-arab-an itu juga, aku lihat ia tak pernah sedih.

Belum ada setahun yang lalu ia menghelat hari kebahagiaannya. Istrinya gemar memasak dan begitu alim tampaknya. Tidak sepertiku yang rajin merokok. Tapi inilah kehidupan yang aku tak pernah bayangkan setelah enam tahun tak bersama atau tak bertemu dengannya lagi selama tujuh tahun. Aku hanya bertemu dengannya sekali. Aku tidak paham mengapa aku menceritakannya berulang-ulang, bahkan aku tidak tahu apakah itu dapat disebut cinta. Aku tidak mengingat perbuatan baiknya, segala yang kuingat darinya hanyalah tabiat buruk. Tapi aku selalu percaya diri bahwa selama itu aku merawat dan menemaninya dengan baik. Melalui pesan singkat gratisan, atau paket telpon yang cukup untuk menghabiskan malam bersama di telepon hingga subuh hampir setiap hari. Aku juga hampir tak memiliki hal-hal berkesan bersama teman-temanku.

Aku berteman dengan biasa saja, karena waktuku lebih banyak kuhabiskan dengannya melalui fitur pesan dan telepon. Di sekolah, rumah, di mana saja. Ia adalah temanku yang ulung sekaligus pacarku dulu yang tak pernah mengungkapkan cintanya padaku hingga akhirnya kami menetapkan tanggal jadian di tengah hari lahir kami yang berdekatan, meski beda tahun. Kebaikannya ialah bahwa cara ia menemani, kebiasaannya untuk mendengar cerita dan gemar bercerita apa saja yang membuat kami menjalin sebuah hubungan. Padahal aku adalah seseorang yang pendiam. Dia bahkan marah karena pernah kupanggil ‘kamu’. Dia mengatakan padaku kalau gaya bicaraku khas. Tapi aku yang memang kalau ketahuan menyukai seseorang tiba-tiba membisu memang harus terbiasa untuk bisa bicara. Tapi itu tanda kalau aku memang tengah menaruh perasaan itu pada seseorang.

Namun sayangnya, hubungan kami tidak berjalan mulus, Mas. Ia memang teman yang baik, karena banyak waktu yang dia berikan padaku bahkan ia sampai tak ikut kerja lapangan saat masih sekolah dulu. Tapi setiap hari juga ia menggertakku, memaksa menemaninya di telepon. Sering aku sampaikan untuk mengakhiri hubungan karena di awal ia juga punya hubungan dekat dengan perempuan lain dan memamerkannya padaku karena ia cantik. Tapi entah berapa ratus panggilan tak terjawab sampai di ponselku. Hingga di bulan ketigapuluh tiga ia sudah menjalin dengan yang lainnya. Berhari-hari pesanku tak dibalas sampai aku mengira aku salah nomor. Benar saja bahwa dia meninggalkanku begitu saja. Hubungan yang cukup lama, meski selalu aku sebut sebagai merawatnya tapi aku tetap pernah jahat menjadi orang yang selalu meminta kabar darinya sebab jarak kami yang berjauhan, dan ia juga tak pernah absen ‘menggertakku’, memaksaku kembali dan semacamnya.

Ia yang kurawat, hidupnya yang tak pernah sedih tapi penuh luka. Keadaan ekonominya yang terseok-seok. Masa di mana aku hanya bisa melihatnya melalui Skype atau Yahoo Messenger. Kisah ekonominya yang sulit, segala kejadian buruk itu berakumulasi dalam hubungan ini. Menjadi seonggok siksaan bagi kami berdua, dengan akhir ditinggalkan yang membuatku mendekam sendirian di rumah, ruang-ruang kuliah, di mana saja sendirian selama lima tahun. Berjumpalah aku denganmu, Mas. Setelah merawat ia yang mengalami asingnya pelukan bapak. Ia mengidap kelainan jiwa, yang membuatnya harus menggertakku setiap hari karena itu. Meski di selang waktu yang panjang sebelum bertemu denganmu ada yang bersua padaku.

Ia teman sekolahku, seorang gay. Ia mengatakan padaku untuk menjadi psikolog saja, karena kata ia aku cocok. Ia berkisah panjang lebar tentang keluarganya yang tak baik-baik saja. Aku hanya menjadi kawan yang baik baginya. Kami mengidolakan orang yang sama, artis luar negeri yang terkenal, yang jelas laki-laki. Aku tidak tahu bagaimana cara kami memandang satu artis yang sama itu. Apa ia memandang itu sebagai kekaguman atau lebih? Tapi dari kesenangan yang sama itu kami merasakan kebahagiaan yang kemudian sedikit menanggalkan penderitaan.

Itu barangkali juga yang membuat hidupku seperti magnet bagi banyak kawanku untuk bercerita, Mas. Suatu waktu saudara yang agak jauh, ia bersedih karena terpaksa mengakhiri hubungan dengan pacarnya karena tak direstui oleh orang tua si laki-laki. Alasannya tak semudah apa yang dijalani saudaraku itu, yakni karena bapak ibunya bercerai. Ibunya meninggalkan rumah, menikah lagi, dan entah hidup di mana. Tapi anaknya hampir tak bisa hidup dan harus menangis terus-menerus. Alasannya bapaknya tak cukup mendapat uang dari hasil kerjanya, sedangkan yang lebih banyak hasil ialah ibunya. Gila!

Mas, hidupmu, jika bersamaku kau tak merasa bahagia, dengan adanya aku kau sangat ragu, yang lebih penting dari cintaku meskipun amatlah besar ini adalah hidupmu.

Aku lagi-lagi seperti magnet, satu cerita lagi, tentang dia yang masih seperti bocah dan aku rawat dan gemar minta traktir. Padahal ia tahu hidupku juga tak mudah, tapi ia selalu berkata ‘njaluk bapakmu’. Alih-alih ia lebih senang mencuri ketimbang meminta uang pada bapaknya. Tapi suka sekali menyuruhku demikian. Ia paling fasih berkisah soal kesusahan hidupnya.

Mas, padahal juga sudah kukatakan aku ini miskin. Bapak dulu suka mabuk-mabukkan dan mendorong ibu. Mataku yang belum cacat minus waktu kecil tak harus menggunakan kacamata untuk melihat terangnya penderitaan ibu. Tapi segalanya berubah perlahan, bapakku bukan lagi kriminal, pelaku KDRT jika aku bisa menghinanya waktu kecil. Tapi tanganku selalu berjabat tangan dengan pemilik tangan orang-orang yang menderita karena orang tuanya, karena aku juga merasakan pedihnya menjadi miskin bahkan tanpa kasih dan sayang.

Kita seperti berlari dan ketika sampai pemberhentian kita selalu tertuju di persimpangan di mana kita mengambil jalur yang salah. Bertemu orang serupa yang menderita, seperti aku bertemu dengannya sembilan tahun silam. Aku tak bisa mengelak bahwa setelah ia meninggalkanku entah itu yang disebut cinta, aku bahkan bersikap konyol dengan mencoba mengakhiri hidup. Tapi hidupku selama lima tahun jauh lebih mengerikan mungkin dari kematian, karena aku merasa bersalah pada diri sendiri mengapa mau digertak selama hampir tiga tahun. Kata terakhirnya yang kuingat tahun lalu bahkan ia masih sangat jahat, ia menanyakan kembali bagaimana gertakannya dulu.

Dengan sengaja dan amat sombong, sebab sekarang ia sudah kaya lantas ia bersua “Motor pacarmu apa, vario?” … “Ah masih mahalan lensa kameraku”. Ia memang sudah hidup mapan, bahkan telah menikah. Dia pikir lima tahunku tanpanya aku sudah punya kekasih lain, padahal tidak. Tapi itu kemenangan pribadiku, karena akhirnya siapa yang meninggalkan terlihat jelas. Dan dengan lima tahun yang lama itu, Mas, bagiku uang penting untuk keberlangsungan hidup tapi tidak menjadi yang utama untuk didapatkan dan menjadi syarat harus banyak uang misal. Cara berpikirku banyak ditempa dan berubah, Mas. Dan aku tidak ingin nilai tukar sebagai prasyarat mencintai. Cinta itu menghidupi, dan hidup tak selalu bernilai tukar, ia bisa tetap eksis dengan bernilai guna.

Itu juga yang ingin kusampaikan padamu, Mas. Perjumpaan denganmu begitu membahagiakan dan membanggakan, seperti apa yang pernah aku impikan aku senang ada seseorang yang pintar dan dia mengatakan bahwa ia sayang dan mencintaiku. Meski sekarang hal itu kembali menjadi sesuatu yang tabu bagi kita berdua. Kau menjadi sangat peragu dan menggantungkan segala kisah kita di langit-langit. Tapi kutegaskan bahwa jika kau tak nyaman, tak benar-benar mampu, bahkan sebetulnya dalam hatimu yang terdalam tidak mau denganku, cintaku yang amat besar ini tidak lebih penting dari hidupmu itu sendiri. Maka, hiduplah, Mas, gapai dan jadilah apa yang kau inginkan.

Tidak mengapa kau tak membalas pesanku, menghilanglah juga tak apa jika saat ini hidupmu begitu sulit. Aku tetap bisa memelukmu dalam do’a saat ini karena sekalipun aku mencari pelarian kecil bersama teman-teman, air mata ini bersaksi bahwa aku mencintaimu. Dan dengan cinta itu do’a baik terpanjat untukmu. Dan yang lebih penting dari cintaku yang besar ini aku ulangi terus-menerus adalah hidupmu.

Kau, jika tak sanggup, tak bisa, bahkan tak merasa bahagia, terpaksa, bahkan cintamu padaku sekadar cita-cita ideal yang tak wajib kau wujudkan, tinggalkanlah cintaku yang besar ini, Mas. Biarkan ia terkapar, kau tak harus kembali bila tak sanggup, kau harus hidup.

Bagaimana hidup itu? Ketika kau menemukan jalinan cinta yang menghidupi, Mas. Jika cintaku yang besar ini tak bisa demikian, tinggalkanlah aku, cahaya lampu belajarku tidak akan mati, ia hanya redup. Aku hanya takkan menjadi benderang, aku temaram. Tapi masih tetap bisa kugunakan untuk membaca dan tahan lama, serta tak merasa lelah.

Dengan cinta yang besar ini, tidak ada benar-benar kerelaan, tidak juga dengan keikhlasan, itu hanyalah hiasan dan bualan, tapi itu jauh tak penting lagi, karena yang jauh lebih penting adalah hidupmu. Kau tak boleh mati hanya karena membalas cintaku, karena cinta itu menghidupi. Kau tak harus menemuiku satu atau dua tahun lagi, lepaskanlah, lakukanlah segala yang kau inginkan. Aku tak sanggup jika harus menyuruhmu mencari yang baru. Tapi sudah aku katakan itu tidak penting, yang jauh lebih penting dari cintaku yang amat besar ini ialah hidupmu, Mas!

Namun, kalau kau tak sanggup hidup bahkan tanpaku, kembalilah, aku peluk kau seperti biasa sambil menepuk-nepuk punggungmu. Bukankah kita sudah sama-sama merindukannya? Malam yang jarang kulakukan bersama yang lain adalah menunggu siang menjadi malam, dan pagi kembali menyambut, manusia yang duduk di warung kopi habis dan bersisa kita berdua. Aku baru pertama kali mengalaminya dan aku begitu senang mengenang yang sederhana.

Dengan demikian, aku sungguh-sungguh mencintaimu, Mas. Dan Tuhan tahu jika kau tak boleh merasa bersalah jika akhirnya tak membalasnya setitik pun. Hidupku hanya takkan terang, hidup yang temaram…

18.5.20

6.40 pagi.

Sebelum lelap dan mendengarkan lagu Jatuh Cinta Itu Biasa Saja — Efek Rumah Kaca.

Memulihkan
Memulihkan

Written by Memulihkan

0 Followers

Kisah sehari-sehariku. Mengenang hari-hari baik dan buruk sepanjang hidup.

No responses yet