Rekaman Pertama

Memulihkan
15 min readAug 3, 2020

--

Meja Belajarku, 3 Agustus 2020

Aku tak menyusun tulisan ini dengan jelas, ini tulisan acak belaka.
Untuk seseorang yang sukar ditebak, namun perlahan aku senang untuk memahami.

Kau pemilik jawaban dan aku hanya penimpal pertanyaan.

Apa kau mempercayaiku di kehidupan ini? Seperti apa? Sebagai apa?

Suatu waktu jahitan operasiku rusak. Aku tak menyangka jika rusaknya lebar sekali. Kau patut untuk mengasihani, tapi lebih dari itu aku justru bangga. Aku ingat betul apa yang membuat jahitanku rusak. Tingkahku.

*

Pagi-pagi aku pulang dari rumah sakit, dibonceng ayahku menggunakan revo merah, ayahku menyetir pelan, setiap menemui jalan yang tak rata, beliau sangat hati-hati mengendalikan motor yang starter-nya mati itu. Aku sebenarnya tak merasa sakit, sebab anestesi pereda sakit masih bekerja untuk nyeri bekas operasi. Hingga sampailah di rumah, aku bergegas menaruh tas, dan cek hasil rontgen operasiku. Tumor kecil payah, mungkin semacam kutukan karena dosaku yang menumpuk. Ya!

Siang hingga sore aku istirahat, mainan ponsel, dan kalau tidak salah aku leyeh-leyeh, terlelap sebentar, lalu malamnya menuju warung kopi. Waktu itu mungkin aku gila, tapi aku merasa ada salah satu manusia di dunia ini yang terkuat. Meniru gaya bicara sombongmu; aku gitu lho! Aku berangkat ke warung kopi selepas maghrib kalau tidak salah, seperti biasa, di Kopi G**k. Tiga hari aku terkapar di rumah sakit, rasanya aku sudah rindu sekali tempat itu. Aku rindu seseorang? aku lupa, aku tak berharap bertemu dengannya, karena payah sekali, ia tak menengokku. Kau kasihan padaku? Ya, ya, sering sekali kau kasihan padaku, Nyet. Tapi waktu itu aku tak bertemu dengannya, aku justru berjumpa banyak orang, teman-teman kita. Seperti biasa aku tertawa dan malam itu aku makan, serta minum obat. Aku tak memesan kopi melainkan es teh.

Aku ingat betul sepertinya kau menghilang sejak Desember atau Januari, aku operasi 11 Februari, jika tak salah ingat. Apa aku memikirkanmu hingga aku hapal? Tidak, Nyet, aku kadang-kadang memang pengingat yang baik. Utamanya soal-soal hidupku. Aku tak ingin bohong, Nyet. Tapi aku masih mengenang dua hal di Desember tentangmu, pertama, ketika kau menghampiriku di warung kopi dengan muka yang tak enak, kau memaksaku untuk bilang ‘kangen’, aku menjawab ‘tidak’, sekalipun kau memaksa. Mungkin saat itu kau terlalu sedih selepas putus? Tapi kau menunjukkan puisi berbahasa Inggris. I just remember ‘bout ‘droplet’. It such a funny word to be a poem, Dear.

Wajahmu lesu, padahal baru saja kau tidur di kontrakan teman. Aku bilang tak kangen, walau sebetulnya tak bisa menahan diri untuk ingin sekali mengatakannya. Tapi ada semi-paksaan sehingga aku harus berkata ‘ora’. Tapi kau tetap datang, hujan-hujan, beli agm satu untuk berdua, lalu bercerita sampai pagi. Entah, padahal kau sedang patah hati mungkin, tapi kenapa bisa cerita banyak sekali soal pengalaman organisasimu? Aku masih ingat betul kau menyandarkan kepala di tembok, ketika aku sembunyi di balik laptopmu, menyandarkan kepalaku di meja. Manusia aneh satu ini kenapa suka membuntutiku. Entah, tapi kisah kedua soal kenangan bersamamu aku ceritakan di akhir. Oke?

Kembali, sejak kau menghilang aku hanya memercayaimu bahwa CV-ku pasti sedang kau kerjakan. Aku juga tak paham mengapa berani sekali meminta tolong. Sebelumnya aku jarang meminta tolong orang lain, bukan kebiasaanku, tapi jika orang lain meminta tolong sebisaku mesti aku lakukan. Saat itu aku sebetulnya ada uang untuk membayar, paling tidak seratus ribu, namun kau meminta rokok saja. Maka, tak berselang lama pasca operasi kau minta kita bertemu. Seingatku itu permintaan mendadak, begini katamu…

“Kalau benar kau militan ke sini…”

Ruteku dari Fisipol, sebab saat itu aku bertemu dosen, lantas mampir POM Bensin depan Amplaz, kemudian menuju ke Fakultas Dakwah, bertemu temanku untuk memberinya kaos, dan segera ke warkop dekat UAD. Sialnya, hujan mengguyur ketika sampai Timoho, aku mampir indomaret beli Surya 16, dan lanjut memakai jas hujan. Sampai di sana aku memberimu rokok, ini.

“Enak Surya 12, sih, beda rasanya…”

Huhu. Sedih sekali rasanya, andai aku bisa menukarnya. Kau tak harus bilang aku militan atau tidak, mesti aku menghampirimu, mau di Bantul paling ujung sekalipun. Wong saat itu mobilisasiku tinggi, dari rumah — Fisipol — UIN — Warkop dekat UAD — Kopi Genk. Tapi rasanya salah beli rokok apalagi yang bisa membayar jasamu. Padahal kerja tetap kerja. Namun bertemu denganmu kala itu cukup melegakan, bahkan setelah sekian lama tak berjumpa, aku pun masih menyimpan foto dengan gaya rambut Aang. Allah.

Jujur aku sempat malu pada orang-orang saat tutup kepala jaketmu kau buka. Tapi kau tetap paling lucu seduni sekalipun sedang berduka. Keren, keren tanpa harus kau tanya terus kau keren apa tidak? Ya, ya sakarepmu. Meski dengan berat hati aku harus enyah dari warkop itu, berat sebetulnya rasanya, aku lebih nyaman bercerita denganmu. Kau masih ingat?

“Entahlah aku yo gak paham, tapi aku lebih nyaman ngobrol denganmu ketimbang sama –dia-“

“Ra, ra” katamu, membalas.

Bahkan waktu itu aku panik pas ditanya lagi di mana, aku sedang bersamamu, memberi rokok, kataku. Dan aku harus menjelaskan alasannya. Sebab di tulisan paling akhir nanti, untuk pertama kalinya aku bicara suatu perasaan yang tak aku duga-duga kepadanya, tentangmu.

Tapi kembali ke pertanyaan awal, apa kau mempercayaiku? Jawabannya tentu ada pada dirimu. Bilamana pertanyaan serupa kau ajukan padaku?

“Kau orang yang dapat dipercaya, tapi sebagian dalam diriku tidak bisa dipercayai, sebab hidupku amat dinamis, aku bisa tiba-tiba sangat miskin sehingga untuk mobilisasi ke satu tempat pun tak sanggup, namun kau bisa mengandalkanku di bagian yang lain, aku mulai memercayai orang-orang, namun secara kontekstual, sebab hidup seseorang mudah berubah, kata satu film Hong Kong begini — mengapa harus memahami manusia, jika sekarang ia bisa suka nanas, sedang besok ia bisa menyukai yang lain — mungkin maknanya kontekstual”

Selang beberapa waktu pasca kita bertemu itu, kau pasti sangat kecewa padaku, itu mengapa aku bilang hidupku ialah hidup paling tak menentu. Meski setelahnya aku belajar lagi sampai sekarang, dua kali aku temui pelajaran soal ‘alasan’.

Orang yang meratap dan memohon dimaafkan atas kesalahannya, menyelipkan kisah ayahnya yang sedang meninggal untuk mendramatisir ratapannya. Padahal ayah setiap orang akan mati, lumrah. Ia tetap harus menanggung akibat dari kesalahan-kesalahannya. Kedua, cerita soal pria yang berhenti dari program imersi bahasa Italia di satu fiksi mini yang aku terjemahkan, dan ia mencari alasan mengapa saat itu berhenti, istrinya mengingatkan ulang bahwa saat itu ibunya meninggal, tapi sang pria mengelak, bahwa hal itu lumrah, ibu orang-orang juga akan meninggal, dan itu tak ada hubungannya dengan bahasa Italia. Alasan saja.

Cukup melelahkan untuk menyelenggarakan diskusi setiap minggu, walaupun aku tetap menikmati dan menyukainya. Kenapa kau memintaku pada saat itu barangkali karena kau memercayaiku, tapi aku memang bersalah tak menjaga kepercayaan orang lain. Aku sudah melakukannya berulang-ulang yaitu sikap tak bisa dipercaya, bahkan akhir-akhir ini, alasan yang sama; hidup. Aku sambil berkaca-kaca menulis ini, tapi hidupku memang berat. Kisah akhir-akhir ini yang kau utarakan di Mato, Kobessah kalau tak salah, dan warkop dekat rumah itu membuatku banyak merefleksikan lagi soal hidup. Dan ketika aku mengecewakan seseorang aku bisa menerima maaf, tapi tidak dengan keikhlasan.

Tapi rasa trauma semoga cukup untuk membayar semuanya. Kau ingat waktu mengajak diriku untuk membuat podcast lagi? Kau tak harus mendiskusikannya denganku, suruh saja jika kau ingin. One day, I’ve ever said, please, rely on me, don’t be mad and disappoint. Barangkali aku bisa pergi dua kali saat itu, tapi aku selalu kalah dengan ‘banyak pikiranku’ sendiri. Dan kau tak datang di diskusi yang mana aku penanggungjawabnya, bukan tak apa, tapi banyak juga yang lain yang tak datang, dan itu tak ada hubungannya denganku yang tak datang kan? Namun secara keseluruhan banyak pekerjaan organisasi ini yang menumpuk di beberapa orang, bangsat betul.

*

Rasanya begitu membebaskan. Sekalipun bercerita denganmu begitu mencekam. Banyak sekali bahasan, dari yang paling serius hingga sesuatu yang konyol. Aku menyukai saat-saat bersamamu. Aku coba eja satu per satu yang aku ingat.

Saat kau memotretku di Philo ketika sedang belajar, akhir-akhir ini aku mencari foto itu lagi, namun tidak ketemu, kau bilang ‘aku sedang belajar’. Fotonya bagus, tapi sayang tanggapanku saat itu tak mengenakan. Kau memang jail sekali. Tapi aku pernah menjadikannya foto profil WA karena foto itu bagus. Coba tebak kenapa aku terganggu saat kau upload fotoku di grup? Karena di grup itu ada dia, parah sekali! Meskipun siapa dia, cemburu saja tidak, tapi jujur perasaanku cukup terganggu karena I look like such a special person, tapi kau masih punya pacar, Nyet! I never felt like it before.

Lalu, aku ingat saat rapat sesuatu kau tanya padaku ‘kau lagi gak mood po?’ Terimakasih sudah memahamiku, Nyet. Aku biasa saja sih, tidak bawa perasaan, namun masih ingat, kalian padahal pulang dari aksi. Aku ingat juga waktu membuat akun Jenius bareng, saat aku menengok ke belakang, dan kau kaget, kau biasa aja, Nyet? Kenapa aku jadi memanggilmu Nyet? Padahal kau pernah mengucapkan selamat pagi pada entah siapa di twitter dengan sebutan itu. Terserah, aku tak peduli, aku senang-senang saja memanggilmu demikian. Senang juga saat kau tak sengaja atau sengaja like lalu unlike tweet-ku ‘selamat malam, sayang’. Aku juga senang kau belikan aku tim-tam meskipun aku memakannya bersama dia, sungguh jahat sekali aku, walaupun apa katanya? Gak enak! Ya mending aku makan sendiri, sangat-sangat menyesal sudah berbagi!

Namun waktu itu memang banyak kenangan, ya, Nyet! Kenangan untukku. Kau bilang aku cantik demi minta rokok. Kau komentari lipstikku, kau bilang ‘lipstikkan buat siapa, bagus kalau biasa aja katamu’. Kau juga merengek minta dibuatkan teh, akhirnya kuberikan tehku padamu, lantas bersama seorang teman aku hanya tertawa terbahak, dan tawa itu berhasil diabadikan. Aku juga ingat waktu kita berkunjung ke rumah untuk membuat cast, itu pertemuan kedua kita di rumah yang sama itu. Pertemuan pertama aku anyel padamu karena di suatu rapat aku hanya diam saja, huh kau seksis sekali waktu itu bilang aku diam saja, ya gimana, cuk! Meskipun akhirnya pertemuan kedua kau berubah jadi menyenangkan dan baik hati. Sejak saat itulah di organisasi itu aku merasa sangat senang. Kau memang keren dan menyenangkan.

Kau juga pernah berkata seperti ini ‘Kau kan mama keduaku?’…’Apa?! gak mau?’. Sungguh ancaman telak di Blan**ngan di depan mata gebetanku, Nyet. Kalau waktu bisa diputar tapi mending jadi mama keduamu, Nyet. Hahahaha. Tak berselang lama dari itu malah kau putus, dan aku yang jadian dengan gebetan bangsat itu, Nyet. Kau ingat sepulang dari Bjng? Waktu aku bimbang karena mau pergi dengan seseorang dan tak bisa memboncengkanmu, aku mikir keras, meski akhirnya kau kuboncengkan sampai Kopi Ge*k. Kau jarang makan kah? Ringan sekali. Saat hari itu aku jadian, nyet. Bangsat betul.

Tapi aku tetap senang mengenang hari-hari itu, karena meski jadian aku lebih banyak ngopi bersama yang lain ketimbang dia. Aku juga masih ingat saat kau makan kepala ayamku, Nyet. Sebelum makan kau bahkan menarik-narik tasku. Jail sekali! Kita jadi tahu bahwa seseorang yang suka menanam tak hanya memendam benih, Ndes, tapi juga memendam perasaan. Hahaha. Aku juga teringat saat kau marah karena aku membicarakanmu di belakang, kau bilang, tulis! Demi apa, biar aku tak lupa ini tulisan itu, ya, Ndes. Entah sejak kapan ‘Ndes’ begitu spesial. Tulisan acak-adul. Aku pernah kecewa padamu? Aku pikir karena kau tak datang diskusi-diskusi, tapi itu alasanku saja, tak masalah kau tak datang, tidak adil memarahimu saja, sebab yang lain juga melakukan hal serupa.

Kalau ditanya pernahkah merasa kecewa padamu? Pernah. Tapi itu tak seberapa, kau pernah kecewa padaku, pasti, dan aku jauh lebih mengecewakan. Aku marah saat kau posting cast soal masa lalu. Aku marah sebab waktu itu tidak tepat. Tapi setelahnya aku merasa biasa saja. Saat itulah segala yang kukatakan di cast tidak konsisten dan aku peragu paling ulung. Alasan mengapa aku tak bisa menerima saat itu dan begitu memaksakan kehendak, sebab bukan dialah yang meragukan hubungan kami, nyet, tapi akulah yang perlu diyakinkan. Sejak awal aku tidaklah yakin dengannya, kau mesti tahu Ea, dan mengapa ia hadir di diskusi? Semua bukan kebetulan, dengan Ea bercerita soal si ‘mbak itu’, aku rasa segalanya bisa aku terima dan selesai. Tapi, tidak, bukankah bukan dia yang peragu, tapi aku? Aku masih menganggap segalanya belum selesai saat itu bukan karena aku yakin mencintainya, karena aku merasa bertanggungjawab sudah mengucapkan dan memutuskan sesuatu. Aku ketakutan saat gagal, Nyet.

Pasca berminggu-minggu setelah hari itu, jujur saja aku pernah membuat surat terakhir untuk seseorang, sambil menangis. Tapi rasanya melegakan, mungkin kira-kira pasca kau membuat story WA ‘mungkinkah ada dua nama dalam satu hati?’. Setelah kita membuat cast itu dan aku merasa amat sangat nyaman dan belum pernah ngobrol seperti itu dengan laki-laki secara langsung, Nyet. Aku polos sekali, makanya hal kecil yang aku rasakan dalam hidup begitu berharga untukku, dan hanya itulah yang aku miliki. Kau sudah merasa spesial belum? Minimal kau paham, Nyet. Huhu. Oiya, soal surat, entah aku betul-betul menangis karena sedih atau apa pada waktu itu, tapi surat itu penuh keragu-raguan, seperti soal pertanyaan ‘aku mencintainya atau hanya suka cerita hidupnya? Aku mencintainya apa hanya karena dia pintar ngomong?’. Hingga surat itu aku buat dan intinya dia tak harus menerimaku, kehidupannya lebih penting. Aku yakin pernyataan begitu tak keluar dari si mulut yang tak peragu. Aku meragukan perasaanku sendiri, sampai sebegitu yakinnya aku menulis di surat itu seseorang yang aku rawat seperti bocah, dan suka minta traktir! Kau ada dalam surat itu. Apa ada dua nama dalam satu hati, Nyet? Jawabannya ada di tulisan terakhir.

Dan soal traktir, Nyet. Kau memang paling lucu. Aku suka kau memintanya. Kau meminta sesuatu dariku, aku senang sekali! Begitulah aku merasa diriku sangat berguna di dunia ini, meski kebiasaanku bukan meminta, bukan karena tidak enakan, Nyet. Tapi aku miskin, aku dilarang meminta, aku harus terbiasa berusaha. Jika aku memintamu membacakan cerpen, atau melakukan sesuatu. I mere believe in you, Nyet. Aku jadi ingat ketika sedang membuncah betul perasaanku padamu, jadi aku suka padamu, nih? Penjelasan detailnya, di akhir saja, Nyet.

Suatu waktu jam satu atau dua pagi aku masuk ruangan radio itu, menyamar dengan nama lamaku J**a, Rahasya J**a, artinya Rahasia Hujan, aku memang suka sekali hujan, tapi sejak suka kau, aku lebih suka cahaya bulan pukul empat pagi. Meski aku masuk ruanganmu jam satu atau dua pagi, agar tidak ketahuan, cuk. Mana aku buatkan puisi untukmu. Hahahaha. Nah, tepat aku masuk aku mendengar suaraku sendiri. Dan saat itu memang aku gabut mantengin bulan dan kau memutar bacaan cerpen; Cahaya Bulan. Tambah membuncah hatiku, mana pas banget. Kubilang “cerpennya bagus, siapa yang baca, kak?”. Katamu “ya, ada pokoknya”. Kau menjadikanku manager. Diam-diam kau juga bilang I am your assistant. Hahaha. Sekarang aku punya asisten, katamu. Mulutmu itu memang suka nerocos semaumu, makanya manusia mana yang tidak bawa perasaan? Apa kau tidak sadar diri, apa ini sudah jelas sebelum aku jelaskan lebih detail. I am too much emotional, dude.

Sebelum itu, apakah cinta itu menurutmu? Apa kau benar-benar mencintai mantanmu dulu? Atau sekadar teman menemani sepi?

Aku sudah lupa, jika pertanyaan itu dilayangkan padaku. Aku pernah akan bunuh diri ketika mantanku yang pertama meninggalkanku demi perempuan lain. Hubungan toksik, sebab aku sangat posesif dan dia sering memaksaku. Aku mengenalnya lewat fesbuk, aku hanya bertemu dengannya sekali. LDR. Kau bisa bayangkan kehaluanku selama tiga tahun lebih? Hal bodoh yang dilakukan seorang aku, yang harus dibayar dengan lima tahun pemulihan dari trauma absurd. Kemudian mengenal lagi seseorang, dan memulai hubungan baru yang umurnya singkat, dan apesnya menemui orang dengan sifat yang tak jauh berbeda. Ada satu sifatnya yang tak jauh beda. Kapok!

Kapok karena aku selalu memulai dengan logis semuanya, barulah mencintai. Akhirnya kebiasaan yang membentuk perasaan itu, bukan rasa nyaman, bukan emosi, bukan suatu hal ajaib yang membuatku senang. Mungkin itu caraku untuk mencintai seseorang dulu-dulu, apa itu cinta, entah, padahal kau percaya tidak, seonggok yang dinamakan cinta bagiku tidak memerlukan proses untuk terbentuk? Intinya ia tak dibuat-buat.

Aku merasa sangat terganggu ketika kau upload foto saat aku membaca e-book di philo, harusnya aku biasa saja. Aku harusnya tak terganggu saat kau memohon-mohon tentang kontrakan rumah. Mengecewakanmu sungguh-sungguh berat dan kenapa itu bisa terjadi? Aku senang dan tertawa bahkan hanya dengan melihatmu. Hanya dengan menceritakan kekonyolanmu. Bahkan suatu pagi di warkop ketika kau amat murung dan akhirnya kau melucu dan aku terbahak-bahak. Tak pernah selepas itu. Ketika aku mendengarkan bacaan cerpen ‘Renjana’, aku bukan tertawa mengejek, tapi begitulah kebiasaanku mendengar saat kau baca cerpen maupun live. Aku senang, cuk!

Aku hanya ingat pernah merasa bergetar hatinya ketika seseorang mengutarakan bahwa ia suka padaku di ponsel smart berlayar oren waktu SMP. Meski katanya, yang kirim pesan semalam itu kakak dia. Hahaha.

Aku selalu berpikir bahwa mungkin aku hanya satu perempuan yang turut kau perhatikan. Spesialnya dari diriku mungkin sebab ada yang kau percayai dariku atau entah. Tapi aku juga merasa jika hal itu biasa kau lakukan dengan perempuan lainnya. Tapi sayang sekali aku melihat dua wajahmu (1) yang konyol dan (2) yang serius. Walaupun harus aku beritahu bahwa sulitnya memulai perbincangan karena aku grogi, Nyet. Urusan menyadari bahwa ternyata aku punya perasaan padamu membawaku pada malu-malu. Aku wong isinan paling ulung saat ketemu orang yang aku sukai. Tapi wabil khusus untukmu, bodo amat, karena hari ini kau tak ada kabar, besoknya kau baru balas pesanku, itu sudah membuatku senang.

Barusan bahkan aku ingin terjun payung atau terjun dari tebing karena sekadar nyoba mikrofon yang kau pinjami. Apa aku sudah gila sesenang itu? Suatu waktu kau pernah juga aku kirimi pesan tak jelas, lalu kau tanya kenapa? Aku jawab ‘kepikiran’. Ya, kepikiran dia waktu itu, tapi rasanya saat itu sudah berat. Kau bilang ‘itulah cinta, Nak’. Nope. Karena aku mau rekaman, jadi menuju tulisan terakhir…

Extended: Jatuh Cinta Pertama Kali

Saat itu jauh lebih menyakitkan sebab harus berbohong pada diri sendiri bahwa aku paksakan mencintainya. Kenapa ketika aku katanya mencintai, aku harus diyakinkan orang lain? Termasuk kau harus bilang ‘itulah cinta, Nak’. Padahal cinta ada di dalam hati yang merasakannya. Kenapa aku harus bertanya padamu? Kenapa keputusan untuk selesai itu harus kutanyakan juga padamu? Apa karena kau yang aku percayai? Sekadar itukah? Apa karena sekarang aku terluka sehingga semua ini muncul? Kukira pertanyaan pada diriku sendiri ini juga penting?

Aku ingat betul, pertama, aku sangat terpukul di depan selbar Fisipol, aku sangat terluka ketika dia tak bisa lepas dari masa lalunya. Kalau ingat selbar fisipol jadi ingat kau juga saat minta semangka, Jigur! Merengek minta semangka. Hahaha. Seriyesss, lanjut…

Kasihani aku yang selalu curhat ke teman-temanku soal betapa sedihnya menjalani hubungan dengan orang yang tak bisa lepas dari masa lalunya, Nyet. Kalau kau sombong itu keren, Nyet, tapi kalau aku sombong bilang bahwa aku perempuan terkuat di dunia, itu wagu, karena akhirnya aku tidak bisa juga menjalani hubungan yang seperti itu, tidak ada dua nama dalam satu hati, kan, Nyet?

Aku lapar, Nyet, aku teruskan nanti.

Selepas dari warkop dekat UAD, aku menuju Kopi G**K dengan hati yang berat karena aku lebih nyaman ngobrol denganmu, Nyet, aku pernah bilang. Karena kau lihat sendiri, manusia yang koar-koar kalau relasi seseorang jangan meng-hegemoni, dia orang yang punya relasi kuasa yang kuat sampai aku tak bisa ngobrol berdua dengannya bukan karena deg-deg-an tapi sejak hari jadian itu aku sudah trauma. Ia mengajakku berkomitmen setelah mengantarmu dari Bjng itu. Dia mengajakku berkomitmen, tidak jadian, suatu hubungan tak bertanggungjawab. Nah, bentar-bentar selepas dari menemuimu itu aku makan dan mengantar dia ke warkop merk yang sama tapi di CondongCatur. Kukira itu suatu yang wah, Nyet, tapi tidak. Bisa dihitung jari berapa kali aku makan dengan dia, atau bahkan video call hanya sekali, dan jarang ngobrol. Hubungan yang luar biasa bukan? Hebatnya lagi, saat aku mengantarnya ke sana hujan-hujan, di jalan aku malah bercerita tentangmu, Nyet, padahal aku ingat, jauh-jauh hari sebelum bertemu denganmu memberikan rokok, tepatnya di Januari, aku menceritakan apa yang terjadi di akhir Desember padanya.

Saat tahun baru kita berempat, meski teman satunya lenyap, dan kembali lagi saat kau tidur. Kau ingat? Kau tidur di warung kopi. Lucu sekali. Kau ingat waktu aku dilarang pulang bapakku karena jalanan ramai? Kita menghabiskan tahun baru di sana, dan penuh terima kasih kau telah mentraktirku makan. Bukankah itu spesial untuk orang yang gak pernah ditraktir makan gebetan? Tapi, patah hatimu sungguh memilukan, memang saat itu aku meledekmu dan memaksa cerita kenapa kau putus tapi yang kau layangkan padaku justru begini “Aku putus gara-gara koe, lho, saiki tak takoni koe gelem ra dadi pacarku?”, andai itu tidak bercanda, andai juga aku tak salah dengar, andai lagi aku tidak berkomitmen. “Koe wis ndue yang po?” Huhuhu. Pas kae aku meyakinkan diri dengan cepat-cepat chat arek bangsat kae, ben perasaanku gak terdistrak, tapi sekarang aku harus sadar realitas, cuk!

Yang paling menyakitkan bukan perpisahan, tapi menyadari bahwa aku begitu terlambat sadar selama ini aku tak mencintainya, Nyet, tapi koe. Ini bukan cerita novel, atau cerpen, ndes. Tapi aku gak pernah ngerti cinta sakdurunge mbok jelasno, terimakasih, cuk, dan kau bukan meyakinkan keraguan, cuk. Tapi aku lagi we sadar. Aku mengelak banyak hal tentangmu. Padahal aku sangat bahagia di organisasi itu, nyaman cerita, dan lain-lain lebih banyak karena dirimu. Aku yakin aku gak eruh cinta iku opo sakjane, sampai aku baca banyak novel dan sinau teko awakmu. Sampai kau bilang; bebas lah mencintai siapa saja, asal tau batas, dan lain-lain. Aku punya harapan waktu kau bilang kau cinta seseorang yang punya kekasih, meski itu bukan aku, wong aku jomblo. Dan kau pernah bilang, kau ndak baper mbi awakku, padahal aku cerita karo arek bangsat kalau pas tahun baru kau bilang gitu.

Padahal arek bangsat yo paling mikir nek awakmu bercanda, wong koe wis tau ngajak nikah arek wadon neng ngarepku. Tapi mengeluh neng awakku nek gebetan tak sesuai ekspektasi. Tak jujur wae lah, sakdurunge, aku nek seneng mbi arek rasane nyikso, po yo kui cinta, nek dadi gebetan we wis menyiksa? Mbi awakmu ki ora. Aku selalu membebaskan orang-orang yang aku sukai untuk tumbuh. Aku bahkan santui kalau kau bentar lagi punya pacar, misal, meski mood ambyar juga nanti nek misal aku reti. Tapi aku bisa bertahan kok. ‘kok’ nek jare mantanku itu bermuatan kebohongan. Hahaha. Ya, namun jujur aku sudah baca banyak novel dan cerpen cinta-cintaan, dan banyak hal lain. You are my Levin in Anna Karenina and I am Katerina Aleksandrovna, and also you are my Ashton in 5 Seconds of Summer. Wkwk. Banyak hal yang membuatku sangat bahagia, meski itu kecil, sepele, dan tak berarti buatmu, Nyet. Tapi aku polos dan amatir. Sedikit kisah sudah aku ceritakan ke seseorang yang memanggil kau Dalgona, Jumanji.

__

Terakhir, suatu waktu aku beranikan diri masuk room-mu pasca baca cerpen dan surat cinta. Kau tanya

Kau naksir aku? Terus malah kamu batasi, diitung jaaaal!

Aku bilang ‘iya’ pakai emoticon nangis tiga. Terus kubilang jangan kedistrak. Kau mesti tak membaca? Entah!

Tapi aku anggap sudah confess dan jujur, Nyet.

Dan segala cerita pendek yang ada di Spoon itu, buatmu, Nyet! Waktu itu aku berpikir untuk menyerah saja, tapi entah, aku tidak pernah dilarang Tuhan untuk dekat denganmu, itulah yang aku rasakan. Bahkan waktu kau menghampiriku di warkop itu sore-sore, aku bahkan berdo’a, dan akan confess, tapi aku tak berani. Jadilah ini! You such a different one. Makasih ya, Nyet. Whatever what you would like to do or decide it. Kita masih seonggok manusia, dengan kenyataan manusia biasa-biasa saja dan penuh kelumrahan. Terimakasih sudah hidup. Aku tidak menyangka bisa tahu cinta dan tertawa terbahak-bahak sekaligus di dunia ini, hidupku berat, Nyet! Tapi kau terlahir, jadi ringan. Hahahaha.

4 Agustus 2020.

3.01

--

--

Memulihkan
Memulihkan

Written by Memulihkan

0 Followers

Kisah sehari-sehariku. Mengenang hari-hari baik dan buruk sepanjang hidup.

No responses yet