Sulit
Bagaimana?
Ini adalah tulisan pertama kali pasca kau mengetahui medium ini ditujukan padamu. Tidak ada tambahan orang yang membaca. Jadi kabar terakhir kisah ini apakah soal diabaikan? Atau aku kembalikan pada diriku sendiri bahwa dari diriku juga tidaklah jelas. Atau semua ini tak perlu diperjelas. Pada akhirnya — pas lagi ngetik ini lagu Nadin bilang “Pada Akhirnya…” wkwkwkw.
Pada akhirnya ini semua hanya permulaan, katanya…
Hari kemarin ditutup dengan satu pelajaran penting, yakni menjemput capaian hari ini dari harapan sekecil apapun. Seperti harapan bertemu denganmu di warkop yang sama meski tidak janjian. Kemarin-kemarin dalam hidupku aku merawat sesuatu yang amat besar, seperti harapan besar. Bagaimana aku bisa sekolah di sana, bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Tapi semua itu belum jelas. Meski aku sudah berusaha. Semua makin runyam ketika kemarin juga aku bercerita pada sahabatku tentang banyak hal yang aku lalui namun aku tak menceritakannya pada siapapun sebab aku sukar memercayai orang.
Tapi malam kemarin, menata tiga kursi, kami duduk bertiga di samping meja b — — — jong yang biasa menjadi tempat pertemuan kita itu, menghadap ke kebun, dan lega rasanya menangis di sana. Bercerita banyak hal bertiga. Aku sedkit lega sebab ada yang memercayai mimpi-mimpiku, meski bapak tidak. Urusan perbedaan kesadaran ini memang runyam sekali. Tapi pada akhirnya yang menentukan tetap diri sendir? Ah entah, kapan-kapan saja aku bercerita.
Tapi di tengah ketidakjelasan tapi aku dan semuanya juga menuntut kejelasan ini, beberapa waktu ke depan aku akan menjumput capaian-capaian kecil lagi seperti dulu waktu kau belum tahu bagaimana menyukaimu diam-diam. Ini bisa jadi gejala diabaikan. Tak dianggap. Juga gejala ketidakjelasan. Tapi bisa juga jelas, semuanya tak perlu dibicarakan lagi.
Tapi aku ingin menjumput capaian-capaian kecil seperti kemarin ini:
Harapan bertemu denganmu tanpa janjian, meski tak bicara. Hari itu aku ingin menghentikan segala aktivitas organisasi karena hari sebelumnya aku tertekan, kata bapak aku tak menyadari jika kami berasal dari keluarga tak kaya. Kata bapak selepas lulus kalau sekolah ya sekolah, kalau bekerja ya bekerja. Mudah sekali berujar. Melupakan perjuanganku, berorganisasi demi CV wkwkw meraih IPK tinggi, saat ujian hanya tidur 2 jam, dipikir tidak berat. Jajan pakai uang sendiri, berat sekaliii. Dan ya, kemarin aku sudah lega menceritakannya.
Akhirnya atas tuntutan-tuntutan itu aku melamar pekerjaan, sambil bersyukur untuk capaian harian. Mendapat upah untuk bisa membeli rokok, mengurai stress, berhasil menyelesaikan terjemahan, melamar pekerjaan yang mungkin, mengerjakan organisasi, sambil tetap merawat impian besar itu. Dan merawat harapan-harapan kecil tetap bertemu denganmu apapun laku dan responnya. Karena mungkin urusan di rumah ini sedang jadi prahara besar untuk hidupku. Aku hanya Asri tak bisa menyelesaikan banyak hal besar sekaligus. Kau sebetulnya berpengaruh besar apalagi bagi lakuku beberapa bulan di belakang. Akhirnya aku bisa ingat puasa lagi, dan sholat wkwkwkw lucu? Ajaib ya? Tapi aku hampir lupa untuk membuat jadwal hidup, karena entah aku merasa menggunakan banyak waktu untuk mengurusi harian organisasi. Walaupun tak terlihat oleh yang lain. Aku merawat sesuatu. Ternyata aku merawat sesuatu. Aku hampir lupa impianku, harus menggarapnya. Lupa jika aku juga harus bekerja.
Tapi sekarang aku tak masalah jikapun perasaan ini tak dibalas, atau ada alasan besar, remeh-temeh yang membuatmu tak bisa. Mengapa aku biasa juga menanggapi semua ini? karena bagiku, kau terlalu jelas. Katamu “biasa saja”. Maka, ada harapan yang tak tergapai dariku dan kejelasan itu membuatku amat tenang. Aku lebih baik ditolak dan tak dicintai ketimbang pura-pura dicintai. Ya, dan tak ada dendam, atau kekecewaan apapun. Bisa mengatakan dan jujur saja aku sudah amat sangat senang. Sungguh.
Bagiku ini perasaan terbaik yang pernah aku rasakan. Dan cinta bagiku adalah hal paling material. Nyatanya mood-ku berubah ketika kau datang. Aku tak kecewa kau bilang biasa saja. Apalagi dendam.
Mungkin akhir-akhir ini aku hanya sedang menyesuaikan diri bagaimana agar tidak canggung, seterusnya hanya perlu waktu untuk kembali seperti semula. Aku memang begitu, kadang jika orang itu menjadi lain, spesial, lebih sering aku abaikan dalam perbincangan. Justru aku amat hangat ngobrol jika aku hanya menganggap orang lain teman. Sesuatu yang aneh tapi itulah aku.
Hari ini apa kau tidak ngopi?
Basi Basi UMY, 29 September 2020