Tumbuh
Orang-orang akan menganggap kamu sampah. Membuangmu saat tahu baumu busuk. Mereka memilih untuk tidak mendaur ulangmu sama sekali. Mereka hanya berpikir tentang satu hal. Iya. Kamu. Sampah. Kalau kamu sampah organik, mereka tidak akan berpikir kamu akan bisa menjadi pupuk. Jika sampah anorganik mereka akan membiarkanmu begitu saja ketimbang mengolah dan menggunakanmu kembali. Mereka hanya akan memahami kalau kamu menempel di badan maka akan membuat mereka menjadi bau dan kotor. Kamu harus dibersihkan dari kehidupan mereka karena kamu adalah sampah.
Orang-orang itu juga akan menganggapku bodoh karena enggan menjauh dari kamu. Padahal kamu sampah kotor dan busuk. Alih-alih berguna, kamu justru akan menimbulkan penyakit dalam kehidupanku. Kamu akan menumbuhkan jamur-jamur di badan, gejala penyakit, dan parasit. Kata mereka tidak selayaknya aku, bahkan banyak manusia lain, perempuan atau laki-laki mendekatimu.
Saat ini kamu sudah menjadi sampah menurut pendapat mereka. Dahulu kamu sangat berguna. Kamu diciptakan dari dua orang yang saling mencintai lalu kamu perlahan tumbuh besar. Kamu melewati masa kecil yang bahkan bisa diceritakan ulang. Tinggal di ibukota dan bertetangga dengan artis yang suka aku tonton, pergi ke restoran cepat saji yang menjual pizza, dan kisah-kisah a la bocah komplek lainnya. Salah satu capaian terhebat menurutku adalah bisa menceritakan ulang masa kecil yang menyenangkan.
Saat aku tumbuh dari anak kecil yang terus tumbuh menjadi dewasa aku memiliki kesulitan untuk menceritakan ulang masa kecilku. Bahkan aku mengingat banyak hal buruk soal masa kecil yang ditumbuhi penyakit dan berujung membuat diriku tak punya teman. Kunci masa kecil yang indah menurutku adalah anak-anak bisa tumbuh sedemikian rupa dengan dipenuhi banyak akses mulai dari pendidikan hingga aspek kesenangan seperti libur bersama keluarga, bermain dengan teman sebaya, dan sejenisnya. Kamu mungkin punya cerita yang tidak sekadar membahagiakan namun juga menyenangkan. Aku suka ketika kamu menceritakan kisah masa kecil itu. Aku antusias menyimak dan akhirnya tergugah, selain kisah-kisah buruk di masa kecil, dalam beberapa cerita ternyata aku juga punya kisah masa kecil yang menyenangkan.
Mulai dari mandi di sungai, bermain jek-jek-an, lempar lumpur, menulis surat ramadan, dan masih banyak lagi. Ketika mengingatmu bercerita seperti itu aku berpikir tidak akan ada orang yang menganggap kamu adalah sampah. Kamu manusia yang pandai bercerita. Kamu mengambil cerita-cerita menyenangkan yang kamu ingat. Kamu adalah manusia yang sangat menyenangkan yang sering membuat aku tertawa, bukan hanya karena bahagia tapi juga senang. Pantas saja batinku, cepat sekali orang-orang bisa akrab denganmu.
Tapi saat ini beberapa orang yang pernah akrab dan berinteraksi denganmu menganggap dirimu hanya sekadar sampah. Beberapa dari mereka melihat bagian-bagian dari hidup dan perbuatanmu yang salah. Bagian-bagian itu akhirnya menjadi keseluruhan dirimu. Awalnya, mereka mengenalmu sebagai manusia yang tumbuh, berbicara, mendengar, bahkan mencintai mereka. Tapi ketika kamu tak lagi dapat bicara, mendengar, dan mencintai mereka lagi kamu pergi begitu saja. Ada yang tanpa kabar darimu sama sekali, ada yang dengan beberapa kabar sampai akhirnya kamu tetap tumbuh dan terus mencoba untuk mencintai lagi dan lagi.
Kadang-kadang dalam hidup, kamu atau aku bisa tumbuh untuk terus ‘mencoba’ mencintai, menyayangi, dan mengandalkan orang yang baru untuk sekadar menutupi ketidaktahuan tentang apa yang sebenarnya aku atau kamu inginkan. Tetapi seringnya aku atau kamu terlambat untuk menyadari hal yang sebenarnya diri sendiri inginkan itu, sehingga aku atau kamu tak dapat merawat dan mempertahankannya. Sampai kisah demi kisah dengan banyak orang hanya sekadar menjadi tumpukan kenangan dan luka, mereka berlalu lalang dalam hidup. Ada yang akhirnya bersikap sewajarnya ketika sudah diperlakukan dengan tidak baik, ada juga yang kecewa mendalam sampai ingin menghancurkan kesempatanmu untuk berubah dan menyadari sesuatu. Menyadari sesuatu seperti “mengetahui dan memahami apa yang sebenarnya kamu inginkan tanpa paksaan.”
Tapi orang yang berlalu lalang kadung cepat mengambil sikap di awal. Memutuskan untuk masa bodoh dengan tak mengenal banyak bagian dirimu, sebaliknya pun dengan dirimu. Saat kamu tumbuh, orang lain juga sedang tumbuh. Saat tumbuh itu, orang-orang dengan cepat atau lambat berubah. Berubah menjadi orang yang kemungkinan akan selalu berbeda dari hari ke hari. Tapi satu hal yang kemungkinan besar sama di antara kalian, sama-sama semakin tidak mengenal satu sama lain. Kalian mungkin saling mempercayai di awal bahwa dunia ini diciptakan dari kisah kasih murni seperti kisah Fatimah dan Ali, atau kisah Ardinah dan Kadiroen. Kisah cinta sejati yang begitu sempurna. Kisah anak dari nabi terakhir umat Islam dan kisah dari novel yang ditulis seorang ketua partai kiri yang menjabat saat usianya masih sangat muda dan segar. Atau jika contoh itu tidak kekinian ada kisah yang hampir sempurna dari Bhaga dan Lika atau Rara Sekar dan suaminya. Padahal mereka anak dari penguasa atau kalau tidak orang kaya. Nanti, kita akan mendapat jawabannya di akhir.
Tetapi kamu. Masa kecil yang kamu ceritakan dan menyenangkan itu akhirnya tergantikan dengan beberapa kisah buruk saat dewasa. Kamu terus tumbuh, tapi hidup tak selalu lancar. Saat kita bertemu seseorang yang mulai kita percayai di awal ternyata kita justru bukan mengenalnya, namun hanya mengetahui sedikit hidupnya dan kita harus bersusah payah untuk memahami hidupnya lebih banyak. Itu pun bila kita mau bersusah payah. Karena menyelami hidup seseorang seperti menyelami ilmu pengetahuan baru. Dan kata Marx “dalam ilmu tidak ada jalan raya yang lebar, dan hanya dia yang dapat mencapai puncaknya yang bersinar, yang tanpa takut lelah mendaki di sepanjang jalan berbatunya.”
Aku belum selesai menceritakan dirimu yang dianggap oleh mereka sebagai sampah itu. Selain bercerita tentang masa kecil yang menyenangkan kamu juga berkali-kali menangis di hadapanku. Hidup menjadi dewasa dengan banyak luka yang tidak terlihat memang lebih menyedihkan. Orang tidak akan tahu bahwa hinaan di masa kecilku itu akan membuatku kurang bisa menjadi manusia yang ceria dan cerewet saat dewasa di hadapan banyak orang. Aku hanya ingin terus berinteraksi dengan anak kecil yang jujur. Aku menjadi sosok yang inferior, pendiam, dan kadang tak dianggap di suatu forum. Pun sama, terus tumbuh menjadi dewasa dan tak selalu lancar menimbulkan luka sehari-hari pada dirimu meskipun kamu tak pernah terlihat bersedih. Namun, lukamu dan lukaku yang berbeda, khusus, dan unik itu bukan dalih bagi kita untuk berbuat tidak baik kepada orang lain.
Aku menceritakanmu, senang dan sedihmu, hebat dan ironimu karena aku memahami kehidupanmu meskipun sama juga dengan mereka aku memutuskan di awal tanpa aku mengetahui lebih banyak. Sekarang pun aku belum merasa mengetahui banyak, tetapi lebih tahu daripada mereka, karena seperti ilmu yang terus aku ingin ketahui memahami manusia seutuhnya itu tidaklah mungkin. Satu manusia dengan manusia lain hanya memahami lebih sedikit atau jauh lebih banyak.
Meskipun mereka menganggapmu sampah yang tak lagi berguna. Kamu memberikan kasih sayang padaku, dan sebaliknya. Dan ada hal-hal yang aku harus pelajari ulang bahwa tidak semua hal bisa aku temui di tempat yang suci dan ideal, termasuk cinta dan seseorang. Aku tak bertemu denganmu di cerita novel Semaoen yang menceritakan kisah pada zamannya, tak juga ada aku dan kamu di kisah para nabi. Kita juga bukan anak-anak dari orang kaya yang berhasil menyekolahkan anaknya di luar negeri. Aku malah belum berhasil meraih beasiswa sekolah di luar negeri. Hehe. Atau menjadi anak kandung dari orang tua yang aktif menjadi penguasa.
Aku tumbuh menjadi perempuan yang banyak menentang bapakku yang tidak punya kekuasaan lebih di masyarakat namun begitu dominan dalam keluarga dalam memutuskan berbagai hal. Keluargaku utuh, mengutuhkan, dan makin mengukuhkan dominasi dari bapak sepanjang hidup. Itu membuatku tak pernah merasa tenang dalam memilih. Tentu saja ia maskulin. Dalam beberapa hal aku selalu bertanya mengapa ibuku bisa bertahan. Ia kurus karena terlalu bersabar. Aku selalu berdo’a, meskipun entah kapan bapak akan sadar, namun ibuku terus mencintai meskipun kapitalisme selalu merenggut ketulusan dalam mencintai. Anak tak lagi menjadi buah hati. Ia harus menjadi buruh yang memiliki faktor ‘kerja’ agar berharga. Tapi aku pengangguran, hidup serampangan, merokok jauh di belakang, mabuk, dan tak beribadah dengan semestinya. Aku juga sampah. Sampai di sini kita akan menemukan jawabannya.
Kamu pun. Tumbuh menjadi laki-laki yang akhirnya seperti lirik lagu Iwan Fals ‘kelak sendiri’. Banyak sendiri, melanglangbuana. Pulang jarang menemui bapak, dan bertahun-tahun tak mesti bertemu ibumu. Aku juga tak terlalu suka bertemu orangtuaku, karena banyak persoalan dalam hidupku di mana beberapa teman lebih paham ketimbang orangtua. Itu bukan upaya untuk durhaka, namun kenyataan. Kian hari hidup semakin tak lancar. Dari sini aku sadar bahwa aku sampah, tapi bukan karenamu tapi karena sesuatu yang lebih besar yang mengarahkan dan menentukan hidup ini padahal bukan Tuhan.
Karena sampah-sampah hari ini tak diciptakan dari kita sendiri. Kita tak punya alat produksi untuk menciptakan plastik-plastik, ataupun sampah lain yang menumpuk yang berserakan di rumah, depan lapangan voli, jalan-jalan, dan bahkan di laut itu. Tapi sampah itu diciptakan oleh orang yang memiliki modal dan kekuasaan. Yang memiliki pabrik-pabrik sampai bisa mengeruk sumber daya dan kerja buruh tanpa membayarnya. Yang menciptakan hubungan penuh hitung-hitungan menggunakan uang. Yang menjalar sampai keluarga, kisah cinta, menentukan apa yang kita hendak pilih, bahkan sampai menentukan detak nadi-nadi kita, menempel di tubuh, mengalir dalam bentuk saripati yang dialirkan melalui darah. Sampai-sampai kita harus dilahirkan kembali entah ke mana untuk keluar dari sistem yang brengsek ini.
Kamu yang dianggap sampah itu, dengan demikian ketika aku mau menerima kamu yang sampah, atau karena kamu mendekatiku, ketika aku menjadi sampah juga, itu bukan karenamu. Melainkan karena kita diciptakan di bawah sistem yang sama. Kulitku atau kulitmu mungkin diperban dengan upah sedikit untuk membalut luka mendalam tidak punya tanah ataupun alat produksi lainnya. Itu pun masih membuat perut kita kosong berjam-jam, atau berhari-hari karena tenaga kita kadangkala tak dihargai sama sekali. Lalu kita meminta pertolongan, kadang disambut baik, tak jarang diadili karena malas.
Kapitalisme membuat orang-orang menjadi ganas. Mudah mengatakan orang lain malas. Jarang orang menolong dengan ikhlas. Gampang sekali orang menganggap orang yang lain sampah sebab kesalahan individu, padahal individu itu tak terlibat menciptakan sampah. Hampir tak mungkin rasanya kita menemukan cinta yang tulus. Yang kita kenal dari hubungan satu dengan yang lain adalah hitung-hitungan uang.
Tapi setelah sadar esok hari aku dan ibuku harus ke toko baju tanpa diketahui bapak, aku baru memahami bahwa bukan ibu tak menyadari dominasi bapak. Tapi dunia yang lain tanpa dominasi itu mungkin. Ibu mencintaiku, adik dan kakakku, menukar kesabaran, tubuh kurusnya dengan momen hari esok ketika kami bisa berbelanja bersama. Dan kalau dipikir lagi kehidupannya yang lungkrah itu tak sepadan ditukar dengan berapa rupiah yang akan aku bayarkan untuk belanjaan kami esok. Tapi aku yakin ia akan melakukan hal yang sama sampai akhir. Ia tak lewat jalan raya, hanya jalan sempit dan bergeronjal untuk mencintai anak-anaknya, tentu saja di bawah sistem yang bangsat ini.
Dunia yang lain itu mungkin. Meskipun akhirnya hal itu membuatku sadar, kian sulit pula kita menemukan kasih dan sayang yang tulus. Jenis kasih sayang, yang tak pernah menghakimi individu manusia yang hakiki menjadi hanya sekadar sampah yang harus membuang dirinya sendiri ke tong sampah sebab dianggap kesalahannya sendiri. Padahal sampah diciptakan oleh sistem yang tengik. Kasih sayang yang tak pernah serampangan menganggap individu lain pemalas hanya karena tak punya sepeser pun uang atau lebih kekinian lagi tak ada pulsa. Padahal individu itu diupah sedikit dan kadang kala upahnya tak dihargai dan tak dibayarkan. Sayang yang saling memberi tapi tak pernah berusaha untuk memperhitungkan berapa yang didapat dan berapa yang kembali.
Kian hari kian sulit dan melelahkan, dan sekali lagi tak ada jalan raya untuk memahami bahkan hanya satu orang. Tapi ini benar-benar jadi yang terakhir dalam tulisanku, maksudku, dan meminjam status facebook teman aku ingin mengatakan padamu:
“Cinta dari manusia tak akan pernah bisa dimaknai apabila ia tidak melirik faktor-faktor yang hadir dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sebab, cinta manusia akan lahir dari segala permasalahan dunia yang tak ada ujungnya.” -Gabriel Garcia Marquez.
Semoga ga capek sama cinta-cintaan yang barengan sama persoalan dunia termasuk hidup yang gada ujungnya.
Yogya, 21 Mei 2022